Mutiara yang Tidak Dijual: Kisah Cinta yang Dibayar Kejujuran

 



    Langit Makkah siang itu cerah tak berawan. Matahari bersinar garang di atas padang pasir, sesekali angin menggulung debu, membuat butiran pasir menari di udara. Di tengah hiruk-pikuk Masjidil Haram, para peziarah khusyuk dalam munajat, larut dalam harapan dan air mata.

    Dari kejauhan, seorang lelaki tua berjalan tertatih. Wajahnya pucat pasi, tubuhnya ringkih, tulang-belulangnya menonjol. Sudah beberapa hari perutnya tak tersentuh sesuap pun makanan.

    Dialah Syaikh Muhammad bin Abdul Baqi’, salah satu ulama yang masyhur di Makkah karena keilmuannya. Namun hari ini, kelaparan telah mengikis tenaganya.

    Langkahnya terseret pelan, keringat mengalir dari pelipisnya. Tiba-tiba, kakinya menyentuh sesuatu. Ia menunduk, tampak sebuah kantong dari kain ibrisam yang mewah. Ikatannya begitu rapi, dari benang sutra yang dijalin indah.

    Dengan hati-hati, Syaikh mengangkat kantong itu. Ia cemas jika benda semewah ini jatuh ke tangan orang yang salah. Ia pun segera pulang, berniat mencari pemiliknya.

    Sesampainya di rumah, rasa penasaran tak tertahankan. Ia buka kantong itu perlahan—dan di dalamnya, terhampar seuntai kalung mutiara. Tidak sembarang mutiara—mutiara itu bagaikan titisan cahaya bulan yang dikristalkan.

    Syaikh tertegun. Seumur hidup, belum pernah ia menyaksikan keindahan serupa. Tapi ia segera menutup kantong itu kembali dan mengikatnya dengan erat. Amanah harus dijaga, bisiknya dalam hati.

    Ia melangkah keluar untuk mengumumkan temuannya. Namun, baru saja sampai di pintu, ia mendengar suara seruan dari seorang lelaki tua di ujung jalan.

“Wahai kaum Muslimin! Siapa yang menemukan kantongku yang berisi kalung mutiara? Aku akan memberinya 500 dinar sebagai tanda terima kasih!”

    Syaikh Abdul Baqi’ terhenyak. Ia lapar, papa, dan sangat membutuhkan uang itu. Tapi sejurus kemudian, ia beristighfar. “Tidak... ini bukan saatnya menggadaikan amanah dengan dunia. Biarlah Allah yang membalas.”

    Dengan tekad yang bulat, ia menghampiri lelaki tua itu dan membawanya ke rumah. Ia bertanya ciri-ciri kantong yang hilang. Sang kakek menjelaskan dengan sangat rinci—dari bahan, tali pengikat, hingga jumlah butir mutiara. Semuanya cocok.

    Tanpa ragu, Syaikh menyerahkan kantong itu. Sang kakek terharu, air matanya menetes. Ia menyerahkan kantong lain berisi 500 dinar. Namun, Syaikh menolaknya.

“Maaf,” ucapnya lembut, “Aku hanya mengembalikan amanah. Bukan untuk mendapat imbalan.”

Kakek itu memaksa, tetapi hati Syaikh teguh. Akhirnya, sang kakek memeluknya erat dan berkata: “Semoga Allah membalasmu dengan kebaikan yang tak kau sangka.”

    Beberapa hari kemudian, Syaikh Abdul Baqi’ berlayar untuk menyelesaikan urusan di wilayah selatan. Namun, badai hebat mengguncang kapal yang ditumpanginya. Petir menyambar, gelombang mengamuk. Kapal hancur menabrak karang, para penumpang terlempar ke laut.

    Syaikh bertahan pada sepotong papan kapal. Dengan tubuh lemas dan dzikir yang tak henti, ia terombang-ambing hingga fajar menyingsing. Ketika membuka mata, ia telah terdampar di sebuah pulau asing.

Ia bangkit, lemas. Namun Allah menguatkannya. Tak jauh, ada masjid kecil. Ia masuk dan beristirahat, lalu mulai melantunkan hafalan Al-Qur’an.

    Seorang lelaki penduduk mendengar bacaan itu. Terpesona, ia memohon diajarkan. Syaikh setuju, dan setelahnya, lelaki itu memberinya beberapa dirham. Syaikh menolak, tapi lelaki itu memaksa.Berita menyebar cepat. Penduduk berbondong-bondong datang belajar. Mereka memberinya hadiah atas ilmu yang diajarkan. Lalu mereka memohon: “Syaikh, ajari juga anak-anak kami menulis!”

    Dengan senang hati, ia mengajar membaca dan menulis. Hadiah terus mengalir, hingga kebutuhan hidupnya tercukupi.

    Sikapnya yang santun dan rendah hati membuat para tetua pulau ingin menjodohkannya dengan seorang gadis yatim yang salehah.

Syaikh awalnya menolak, namun demi dakwah dan cinta pada ilmu, akhirnya ia menerima.

    Hari pernikahan tiba. Ketika ia melihat sang istri untuk pertama kali, matanya terbelalak. Kalung mutiara itu... ia mengenalnya!

    Para tetua tertawa kecil melihat keterkejutannya. Salah satu dari mereka berkata, “Syaikh, kakek yang dulu Anda temui... adalah ayah dari gadis ini. Sebelum wafat, ia berdoa agar bisa menikahkan putrinya dengan lelaki jujur yang mengembalikan kalung itu. Doanya terkabul.”

    Syaikh Abdul Baqi’ tak mampu menahan air mata. Ia terisak dalam haru. Betapa besar balasan Allah atas amanah yang dijaga dengan ikhlas.

Di dalam hatinya, ia mendengar bisikan ayat yang kini terasa begitu nyata:

هَلْ جَزَاءُ الْإِحْسَانِ إِلَّا الْإِحْسَانُ
فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ

"Tak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan pula. Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?" (QS. Ar-Rahman: 60–61)

Dan seperti embun yang jatuh ke dalam hati, terngiang syair dari Rumi:

"Apa yang engkau berikan, akan kembali kepadamu dalam bentuk yang tak kau duga.
Air mata keikhlasanmu adalah benih—yang tumbuh menjadi pohon cinta di taman takdir."



Posting Komentar untuk "Mutiara yang Tidak Dijual: Kisah Cinta yang Dibayar Kejujuran"