Wajah yang Tak Lagi Menghadap Langit


    Pada suatu hari, seorang wanita shalihah yang telah bertahun-tahun mengabdikan dirinya untuk tugas mulia memandikan jenazah, Ummu Ahmad, mendapat panggilan dari sebuah keluarga. Ia diminta untuk memandikan jenazah seorang gadis muda yang baru saja wafat. Tanpa banyak tanya, ia menerima amanah itu. Sebab baginya, setiap tubuh yang kembali kepada Allah adalah titipan yang harus diperlakukan dengan penuh hormat.

    Setibanya di rumah duka, suasana terasa sunyi dan berat. Sang ibu almarhumah mengantarnya ke sebuah kamar dan hanya menunjuk ke arah pintu.

Lalu… menguncinya dari luar.

    Ummu Ahmad terdiam. Jantungnya berdegup pelan. Ada yang tak biasa. Tapi ia menarik napas dalam, menyebut nama Allah dalam hati, dan melangkah masuk.

    Di sudut ruangan itu, semua perlengkapan mandi dan kain kafan telah tertata rapi. Di atas ranjang, tubuh sang gadis tertutup oleh selimut. Dengan tangan yang sedikit gemetar, Ummu Ahmad membuka penutupnya.

Sekujur tubuhnya langsung lemas.
    Wajah si gadis… terbalik. Kepalanya mendongak ke belakang seakan menolak menghadap langit. Kulit tubuhnya hitam legam, mengering seperti kayu yang hangus terbakar. Baunya menusuk. Suasana di ruangan berubah seperti lorong waktu menuju azab.

    Namun Ummu Ahmad bukan siapa-siapa untuk menghakimi. Ia hanya seorang hamba yang sedang menjalankan amanah. Dengan dzikir yang terus mengalir dalam dada, ia memulai tugasnya.

    Namun, saat air menyentuh tubuh jenazah itu… kulit dan dagingnya luruh satu per satu, seperti bangkai yang telah membusuk dan membengkak. Setiap usapan terasa seperti mencabik rasa kemanusiaan. Hati Ummu Ahmad menjerit, namun tangannya tetap bergerak. Ia tak bisa mundur. Ia hanya ingin menuntaskan tugas ini dengan penuh tanggung jawab… dan menangis dalam diam.

"Jangan menyangka perjalanan ini pendek.
Banyak lautan harus kau seberangi.
Banyak badai harus kau hadapi,
Hingga engkau tiba pada Rumah yang sejati."
Rumi

Setelah semua selesai, ia ketuk pintu. Memanggil keluarga.

Tak ada jawaban. Lama sekali.

    Hingga akhirnya, pintu terbuka… tanpa sepatah kata pun. Ummu Ahmad keluar dengan tubuh yang lemas, dan jiwa yang seakan tercerabut dari tubuhnya. Sesampainya di rumah, ia langsung jatuh sakit. Tiga hari ia terbaring tanpa suara. Nafasnya berat. Pikirannya masih terus dihantui bayangan wajah gadis itu.

    Setelah pulih, ia memberanikan diri menemui seorang syekh. Ia ceritakan seluruh kisahnya. Syekh itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan tenang,

"Kembalilah… Tanyakan pada keluarganya. Akan ada hikmah yang harus engkau dengar."

    Dengan langkah berat dan hati penuh tanya, Ummu Ahmad kembali ke rumah duka itu. Ia berdiri di depan ibu si gadis dan berkata dengan suara lirih namun tegas:

"Demi Allah… aku hanya ingin tahu dua hal. Pertama, mengapa kalian mengunciku di dalam kamar itu? Kedua, apa yang sebenarnya terjadi dengan anak gadis kalian?"

    Sang ibu menunduk. Matanya mulai berkaca. Tangisnya tertahan di tenggorokan. Dan akhirnya pecah dalam lirih…

"Sebelum engkau… sudah tujuh orang kami panggil. Tapi semuanya pergi setelah melihat keadaan anak kami. Tak ada satu pun yang sanggup. Maka kami mengunci pintu... agar engkau tak lari seperti yang lainnya."

Ia terdiam, menggigit bibir, lalu melanjutkan dengan suara nyaris berbisik:

"Anak kami… semasa hidupnya... meninggalkan salat. Berkali-kali kami menasihatinya, tapi ia enggan. Ia juga selalu menolak berjilbab. Kami tak mampu memaksanya. Hatinya menolak, dan... kami kehabisan cara. Lalu… ia wafat mendadak."

Air mata Ummu Ahmad tak bisa lagi tertahan. Tapi kini bukan karena ketakutan… melainkan karena rasa pedih yang dalam. Ia menangis untuk seorang gadis yang terlambat memahami makna hidup, menangis karena sebuah hati yang dulu bisa berbalik kepada Allah, namun tak sempat lagi bernafas untuk bertaubat.

“Kematian bukanlah kehilangan,
tapi panggilan pulang dari Kekasih.
Celakalah yang pulang tanpa membawa cinta,
hanya kesombongan dan lupa.”
Rumi

Dan di sanalah Ummu Ahmad sadar…
Bahwa harga dari sebuah kelalaian bisa begitu mahal.
Teramat mahal… hingga tak mampu ditebus, bahkan oleh air mata keluarga yang menyesal.

“Kau diberi waktu… bukan untuk abai.
Kau diberi nafas… bukan untuk sombong.
Kau diberi hidup… agar sempat mencintai-Nya.”
Rumi


Posting Komentar untuk "Wajah yang Tak Lagi Menghadap Langit"