Kemiskinan yang Diberkahi: Kisah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami
Di balik nama besar Imam Ibnu Hajar Al-Haitami seorang ulama besar yang ilmunya mengaliri zaman hingga kini tersimpan lembaran hidup yang begitu sederhana, bahkan menyayat hati. Di masa mudanya, beliau menjalani tahun-tahun penuh kemiskinan dan kesabaran.
Empat tahun lamanya beliau tidak pernah mencicipi lezatnya daging, bukan karena asketisme berlebih, tapi karena memang tak sanggup membelinya. Hari-harinya diisi dengan ilmu, ibadah, dan harapan. Sementara di rumah, sang istri, wanita shalihah pendamping hidupnya, memendam satu keinginan kecil sekadar ingin mandi di pemandian air panas, seperti yang biasa dinikmati wanita-wanita lainnya.
Dengan kelembutan yang menjadi ciri para kekasih Allah, Ibnu Hajar berkata kepada istrinya,
"Bersabarlah, wahai istriku. Aku akan kumpulkan sedikit demi sedikit rezeki dari Allah agar keinginanmu itu bisa terwujud."
Hari demi hari, setiap tetes rezeki yang datang tak beliau nikmati sepenuhnya. Disisihkan, dikumpulkan, dengan penuh harap dan cinta. Hingga akhirnya, terkumpullah setengah riyal—cukup untuk biaya masuk ke pemandian itu.
Namun takdir berkata lain. Ketika sang istri tiba di tempat tujuan, penjaga pemandian menolaknya masuk.
"Hari ini, kami tidak menerima pengunjung," katanya.
"Istri dari Syekh Al-Imam Al-Fatih Muhammad Ar-Romli sedang berada di dalam bersama sahabat-sahabatnya. Beliau telah menyewa seluruh tempat dan membayar 25 riyal, serta berpesan agar tidak ada seorang pun yang boleh masuk hari ini."
Patah hati, sang istri pulang. Matanya berkaca. Dadanya sesak. Di hadapan suaminya, ia berkata dengan nada kecewa,
"Mana ilmumu? Kita sudah susah, miskin, kau kumpulkan uang berhari-hari demi hal kecil, tapi tetap saja tak berhasil. Ambillah kembali uangmu itu. Dunia ini tak berpihak pada kita."
Ibnu Hajar memandangnya dalam-dalam. Tak ada kemarahan. Hanya ketenangan yang memancar dari hati yang telah lama menyerahkan urusannya kepada Allah. Lalu dengan lembut, beliau berkata:
"Aku tidak mengejar dunia. Aku ridha dengan apa yang Allah tetapkan untukku."
Kemudian beliau menggandeng tangan istrinya menuju sumur Zamzam. Sesampainya di sana, Imam Ibnu Hajar menimba air dari sumur yang penuh keberkahan itu. Tapi yang keluar bukan air, melainkan satu timba penuh dengan dinar emas yang berkilauan.
Dengan senyum yang lembut, beliau bertanya,
"Apakah ini cukup bagimu?"
Sang istri menjawab, "Kurang."
Beliau menimba lagi—keluar lagi satu timba penuh dinar emas.
"Sekarang?"
"Masih kurang. Aku ingin tiga timba," kata sang istri.
Ibnu Hajar pun menimba untuk ketiga kalinya. Kini di hadapan mereka, bersinar tiga timba penuh dengan kekayaan dunia.
Lalu beliau menatap istrinya dan berkata:
"Wahai istriku, dengarkan aku. Aku lebih mencintai kefakiran yang kupilih karena Allah, daripada kekayaan yang akan melalaikanku dari-Nya. Dunia ini fana, usianya pendek, dan kehidupannya hina. Sekarang aku berikan dua pilihan kepadamu:
Kembalikan seluruh dinar ini ke dalam sumur Zamzam, dan tetaplah bersamaku. Atau... bawa semuanya pulang ke keluargamu dan ambillah talakmu dariku, karena aku tidak ingin mengejar dunia yang akan menggerus akhirat."
Sang istri terdiam. Berusaha menawar dengan hati yang masih berat melepaskan dunia.
"Bagaimana kalau kita simpan satu timba dan kembalikan dua?"
"Tidak," jawab beliau dengan tenang.
"Kalau begitu... bagaimana jika kita ambil hanya satu dinar saja? Untuk bersenang-senang hari ini?"
Ibnu Hajar tetap menjawab dengan suara tegas,
"Tidak. Kembalikan semuanya atau ambil semuanya dan tinggalkan aku."
Tangis pun jatuh dari mata sang istri. Ia menggenggam tangan suaminya erat, lalu berkata dengan suara gemetar:
"Kalau begitu... kembalikan semuanya ke dalam sumur. Aku tak mau berpisah denganmu. Kita sudah hidup bersama selama bertahun-tahun. Engkau telah memperlihatkan padaku karomah ini, dan kini aku yakin: engkau adalah lelaki yang dekat dengan Allah. Aku tak ingin harta, aku hanya ingin bersamamu. Demi Allah, aku akan bersabar. Bersabar dalam kesempitan, asalkan bersamamu."
Di antara kilauan dinar emas yang kembali ditelan sumur, berdirilah dua hamba Allah yang memilih ridha-Nya di atas segalanya. Cinta mereka bukan sekadar romansa, tapi keteguhan hati dua insan yang telah memahami makna zuhud, makna pengabdian, dan makna cinta yang hakiki.
Posting Komentar untuk "Kemiskinan yang Diberkahi: Kisah Imam Ibnu Hajar Al-Haitami"