Cinta Rahma dan Rahman (Sebuah Kisah Cinta yang Tak Selesai di Dunia)


 Dikisahkan, di suatu masa, hiduplah sepasang suami istri bernama Rahma dan Rahman. Pernikahan mereka tampak seperti takdir yang telah diguratkan dari langit, namun rumah tangga mereka jauh dari kata sempurna. Di balik nama-nama mereka yang serasi, tersembunyi kepedihan yang hanya diketahui oleh langit dan air mata yang mengering di sajadah.

    Rahma, seorang wanita yang anggun dan bersahaja. Ia adalah seorang dokter yang telah menempuh perjalanan hijrah panjang dari kelamnya masa lalu. Kini ia istiqamah dalam hijabnya, lembut dalam tutur kata, dan senantiasa tenggelam dalam lantunan ayat suci. Jiwanya sejuk, ibadahnya khusyuk. Ia bagaikan Laila di zaman ini menawan, namun tak terpaut pada dunia, hanya terikat pada Rabb-nya.

    Hidupnya berubah saat Rahman datang meminangnya. Wajah Rahman memang tak memikat, namun cintanya tulus, keberaniannya besar. Dengan berbekal harta orang tuanya, ia melamar Rahma. Saat ijab qabul itu terucap, hati Rahma bergetar hebat. Ia menangis dalam haru, merasa seperti dipeluk hangat oleh takdir terbaik dari langit. Ia yakin, Allah sedang menjawab doa-doanya.

    Setelah menikah, mereka tinggal di rumah keluarga Rahman. Rahma, yang telah menjadi yatim piatu sejak usia belia, tumbuh dalam kesunyian dan perjuangan. Hidup mengajarkannya arti kehilangan sejak dini. Namun cinta ia percaya, mampu menyembuhkan luka masa lalu. Awalnya, kehidupan pernikahan mereka penuh cinta. Senyuman Rahman menjadi penawar lelahnya setelah merawat pasien. Pelukan Rahma menjadi tempat Rahman berlindung dari kerasnya dunia luar.

    Namun seiring waktu berjalan, warna-warni cinta mulai memudar. Rahman perlahan menjauh. Ia kerap pulang larut malam tanpa penjelasan. Nada bicaranya mulai meninggi, tangannya mulai ringan. Hingga akhirnya, badai itu datang: Rahman kehilangan pekerjaan, dan bersamanya, kehilangan arah.

    Meski terluka, Rahma tak pernah membenci. Ia memilih diam dalam sabarnya. Di setiap malam yang dingin, ia bangun dalam sunyi untuk bermunajat kepada Sang Penggenggam Hati. Dalam sujud dan linang air mata, ia berkata,

“Ya Rabb, jika jodoh adalah cerminan diri, mengapa Engkau titipkan aku kepada lelaki yang kian menjauh dari-Mu? Namun jika ini takdir-Mu, maka tabahkanlah hatiku. Tumbuhkan kembali cinta yang dulu pernah tumbuh seperti bunga pertama di musim semi. Jangan biarkan kami karam, ya Allah… Jangan biarkan cinta ini mati sebelum waktunya.”

    Rahma kembali membaca Al-Qur’an, mengalunkan ayat-ayat dengan suara yang menggetarkan jiwa. Ibu mertuanya sering terbangun hanya untuk mendengarkan dari balik pintu suara yang membuat malam terasa hangat dan langit seperti tersenyum.

Namun keindahan itu tidak abadi di dunia ini.

    Suatu hari, Rahma jatuh sakit. Sangat parah. Dalam sepi dan sakitnya, ia masih tersenyum. Dalam panas tubuhnya, tilawah tak pernah berhenti. Hingga akhirnya, malaikat maut datang menjemputnya dengan lembut. Ia pergi dalam keadaan suci, wafat dalam senyum yang menyimpan ribuan doa.

    Rumah itu berubah sunyi. Tiada lagi tilawah yang menyelimuti malam. Tak ada lagi Rahma yang membuka pintu dengan senyum. Rahman belum juga pulang. Hanya ayah dan ibu mertuanya yang tersisa, tenggelam dalam duka.

    Beberapa minggu setelah kepergian Rahma, sang ibu mertua mendengar tangisan lirih dari kamar Rahma. Tangisan itu bukan manusia namun memilukan, seperti hati yang patah namun tetap berdoa. Sang ayah mertua menolak percaya. Tapi suara itu terus terdengar, berulang setiap malam.

    Akhirnya, mereka memanggil seorang imam. Saat imam berdiri di depan kamar Rahma, ia pun mendengar tangisan itu. Seketika, ia ikut menangis. Air matanya jatuh tanpa suara. Ayah mertua bertanya dengan suara gemetar:

“Mengapa Anda menangis, Imam?”

Sang imam menjawab dengan suara lirih,

“Itu… adalah tangisan para malaikat. Mereka menangisi kepergian seorang wanita yang menjaga Al-Qur’an, menjaga kehormatannya, menjaga cinta dalam sabarnya, dan tetap berbakti kepada suami yang tak selalu mencintainya.”

    Tangis pun pecah di rumah itu. Ibu mertua menangis sejadi-jadinya. Dan saat Rahman akhirnya pulang, ia hanya bisa terdiam melihat pusara Rahma. Hatinya runtuh. Dunia runtuh. Ia bersimpuh di tanah, mencium nama Rahma di batu nisan.

“Rahma… maafkan aku. Kau bukan Laila, tapi cintamu lebih setia dari semua puisi Qeis. Kau bukan bidadari, tapi doamu membuat langit menangis. Dan aku... hanyalah lelaki yang terlambat menyadari siapa bidadari yang selama ini kusepelekan.”

    Rahma telah pergi, namun cintanya tak pernah mati. Ia menjadi kisah, menjadi pelajaran, menjadi puisi. Dan dalam setiap malam sunyi, Rahman pun ikut bangun. Bukan lagi mencari dunia, tapi mencari suara Rahma dalam ayat-ayat suci yang dulu sering ia abaikan.

Posting Komentar untuk "Cinta Rahma dan Rahman (Sebuah Kisah Cinta yang Tak Selesai di Dunia)"