Tujuh Pintu dari Hati yang Ikhlas
Pada masa kehidupan Nabi Musa AS, hiduplah sepasang suami istri yang telah lama bergulat dengan kemiskinan. Hari-hari mereka dipenuhi dengan kesabaran yang luar biasa dan usaha yang tiada henti, meski kebutuhan hidup mereka sering tak tercukupi. Kendati demikian, iman tetap terpatri kuat dalam dada mereka, tak pernah luntur oleh kerasnya cobaan hidup.
Sang suami pun menyetujui usulan istrinya dengan harapan dan keyakinan. Keesokan harinya, mereka berangkat menemui Nabi Musa AS dan menyampaikan permintaan tulus mereka. Dengan penuh kasih, Nabi Musa menyampaikan doa kepada Allah, memohonkan rezeki bagi pasangan tersebut. Allah pun mengabulkan permohonan itu, namun dengan satu syarat: kekayaan itu hanya akan diberikan selama satu tahun. Setelahnya, mereka akan kembali hidup dalam kondisi semula.
Pasangan itu menerima ketentuan tersebut dengan penuh rasa syukur dan lapang dada. Tak lama kemudian, rezeki mulai mengalir dari arah yang tak pernah mereka duga. Ladang mereka tumbuh subur, usaha mereka berkembang pesat, dan harta mereka bertambah dari hari ke hari. Mereka pun hidup dalam kecukupan, ketenteraman, dan kebahagiaan.
Sang suami mengangguk penuh setuju, hatinya luluh oleh kebijaksanaan istrinya. Mereka pun membangun sebuah rumah singgah dengan tujuh buah pintu, yang masing-masing menghadap ke arah jalan yang berbeda. Rumah itu terbuka sepanjang waktu, siang dan malam, bagi siapa pun yang membutuhkan makanan, tempat beristirahat, atau sekadar perlindungan dari panas dan hujan.
Hari demi hari berlalu, bulan pun silih berganti. Hingga genap satu tahun seperti yang telah ditetapkan. Namun anehnya, kekayaan mereka tidak berkurang. Justru semakin bertambah dan mengalir tanpa henti, seakan menjadi mata air keberkahan yang tak pernah kering. Mereka terus berbagi, memberi, dan menolong, sementara rezeki terus berdatangan tanpa henti.
Posting Komentar untuk "Tujuh Pintu dari Hati yang Ikhlas"