Tujuh Pintu dari Hati yang Ikhlas

                                      


     Pada masa kehidupan Nabi Musa AS, hiduplah sepasang suami istri yang telah lama bergulat dengan kemiskinan. Hari-hari mereka dipenuhi dengan kesabaran yang luar biasa dan usaha yang tiada henti, meski kebutuhan hidup mereka sering tak tercukupi. Kendati demikian, iman tetap terpatri kuat dalam dada mereka, tak pernah luntur oleh kerasnya cobaan hidup.

    Pada suatu malam yang sunyi, sang istri berkata lirih kepada suaminya,
“Wahai suamiku, bukankah Nabi Musa adalah utusan Allah yang dapat berbicara langsung dengan-Nya?”
“Benar, wahai istriku,” jawab sang suami dengan lembut.
“Jika demikian, mengapa kita tidak menemuinya? Mintalah kepadanya agar bersedia memohon kepada Allah supaya kita diberi kelapangan rezeki. Mungkin inilah waktunya bagi kita keluar dari belenggu kemiskinan yang telah begitu lama menyelimuti hidup kita.”

    Sang suami pun menyetujui usulan istrinya dengan harapan dan keyakinan. Keesokan harinya, mereka berangkat menemui Nabi Musa AS dan menyampaikan permintaan tulus mereka. Dengan penuh kasih, Nabi Musa menyampaikan doa kepada Allah, memohonkan rezeki bagi pasangan tersebut. Allah pun mengabulkan permohonan itu, namun dengan satu syarat: kekayaan itu hanya akan diberikan selama satu tahun. Setelahnya, mereka akan kembali hidup dalam kondisi semula.

    Pasangan itu menerima ketentuan tersebut dengan penuh rasa syukur dan lapang dada. Tak lama kemudian, rezeki mulai mengalir dari arah yang tak pernah mereka duga. Ladang mereka tumbuh subur, usaha mereka berkembang pesat, dan harta mereka bertambah dari hari ke hari. Mereka pun hidup dalam kecukupan, ketenteraman, dan kebahagiaan.

    Namun, sang istri tak pernah lupa pada janji Allah. Suatu hari, ia berkata kepada suaminya,
“Wahai suamiku, kekayaan ini hanyalah titipan selama satu tahun. Setelah itu, kita akan kembali miskin. Maka sebelum masa itu tiba, mari kita gunakan anugerah ini sebaik-baiknya. Marilah kita bantu sebanyak mungkin orang yang membutuhkan; beri makan kepada fakir miskin, santuni anak-anak yatim, dan jamu para musafir yang kelelahan.”

    Sang suami mengangguk penuh setuju, hatinya luluh oleh kebijaksanaan istrinya. Mereka pun membangun sebuah rumah singgah dengan tujuh buah pintu, yang masing-masing menghadap ke arah jalan yang berbeda. Rumah itu terbuka sepanjang waktu, siang dan malam, bagi siapa pun yang membutuhkan makanan, tempat beristirahat, atau sekadar perlindungan dari panas dan hujan.

    Hari demi hari berlalu, bulan pun silih berganti. Hingga genap satu tahun seperti yang telah ditetapkan. Namun anehnya, kekayaan mereka tidak berkurang. Justru semakin bertambah dan mengalir tanpa henti, seakan menjadi mata air keberkahan yang tak pernah kering. Mereka terus berbagi, memberi, dan menolong, sementara rezeki terus berdatangan tanpa henti.

    Nabi Musa pun heran melihat keadaan itu. Ia lalu bermunajat kepada Allah,
“Wahai Tuhanku, bukankah Engkau telah menetapkan bahwa kekayaan pasangan itu hanya akan berlangsung selama satu tahun? Tetapi kini telah lebih dari itu, dan mereka masih hidup dalam kelimpahan dan keberkahan.”

    Allah Yang Maha Pemurah menjawab,
“Wahai Musa, Aku bukakan satu pintu rezeki bagi mereka, dan mereka membalasnya dengan membuka tujuh pintu untuk menolong hamba-hamba-Ku. Apakah Aku akan kalah dalam kemurahan hati dengan hamba-Ku sendiri? Wahai Musa, Aku malu kepada mereka.”

    Mendengar jawaban itu, Nabi Musa pun tersungkur dalam sujud, diliputi kekaguman dan haru.
“Mahasuci Engkau, ya Allah. Betapa agung urusan-Mu, dan betapa luas kasih sayang serta kemurahan-Mu kepada hamba-hamba-Mu yang berbuat kebaikan.”

Posting Komentar untuk "Tujuh Pintu dari Hati yang Ikhlas"