30 Tahun Penantian, Pertemuan Tak Terduga


    Namaku Ummi Rabi’ah. Aku hidup bersama dengan suamiku di kota Nabi tercinta ini, Madinah al-Munawwarah. Suamiku bernama Faroukh, dia dijuluki Abu Abdurrahman, sebenarnya dia bukanlah penduduk asli Madinah. Dia adalah orang transmigran dari luar kota. Kami menikah beberapa saat setelah dia pindah ke kota ini. Kota yang telah menemukan kami berdua dalam langit cinta hingga akhirnya kami menjadi pasangan suami istri.

    Suamiku adalah orang shalih. Dia gemar melakukan kebaikan. Sodaqah, shalat malam dan tilawah Al-Qur’an adalah kegiatannya disamping berdagang. Kami hidup bersama hingga akhirnya Allah memberi kami rizqi. Ya, akhirnya aku hamil. Tentu saja kami sangat bahagia. Waktu terus berjalan, tak terasa kandunganku semakin besar.

    Siang itu, Faroukh menemuiku dengan wajah yang sayu. Lalu, dia berkata: “Istriku, tadi imam mengumumkan bahwa negara sedang melakukan perang melawan kaum kuffar. Apakah kau rela melepaskanku untuk bergabung dengan mereka?”.

    Aku tersentak mendengarnya. Bagaimana mungkin dia akan meninggalkan aku dengan bayi ini. Lantas kepada siapa dia akan menitipkan kami berdua?

    Aku bertanya kepadanya: “Kepada siapa kau meninggalkan aku dan janin yang aku bawa di antara dua sisi tubuhku?”.

    Faroukh menatapku dengan tajam dan berkata: “Aku menitipkanmu kepada Allah dan rasul-Nya. Sesungguhnya aku juga meninggalkan uang 30.000 dinar yang aku kumpulkan dari peperangan. Kembangkan dan belanjakan uang itu untuk dirimu dan bayimu, hingga aku kembali kepadamu dalam keadaan selamat atau aku mendapatkan syahid seperti apa yang aku impikan.”

Aku tidak bisa mencegahnya. Semangatnya yang meledakkan tidak mampu kulawan.

hanya bisa bertawakkal kepada Allah. Dengan berat hati, aku harus melepaskannya.

“Berangkatlah wahai suamiku. Semoga Allah selalu melimpahkan rahmat-Nya kepadamu.” Jawabku penuh haru.

    Dia terisak dan langsung mengecup keningku. Dia mengeluarkan sebuah kantong yang berisi uang sekitar 30.000 dinar, lalu dia berangkat ke medan perang. Berbulan-bulan aku menunggu kepulangannya. Dia sama sekali tidak pulang ataupun sekedar memberi tahu kabarnya.

    Beberapa kali, aku mendengar kabar bahwa suamiku ditawan oleh pasukan musuh. Namun ada kabar lain yang mengatakan bahwa dia masih hidup dan tengah berjihad di jalan Allah. Dan aku juga mendengar kabar bahwa dia telah syahid seperti apa yang menjadi impiannya. Aku pun mengikhlaskannya, aku yakin bahwa apa yang Allah takdirkan kepadaku itu adalah hal terindah untukku dan anakku.

Akhirnya bayi yang kutunggu-tunggu lahir. Bayi itu berjenis kelamin laki-laki dan kuberi nama Rabi’ah.

    Tahun berpindah dengan cepat. Anak lelaki kami tumbuh dengan sehat. Dia tumbuh menjadi seorang remaja tampan dan cerdas. Tak heran apabila banyak orang yang senang dengan anakku. Uang pemberian suamiku kugunakan untuk seluruh kebutuhannya.

    Rabi’ah telah beranjak dewasa, rupanya dia begitu cinta dengan ilmu. Aku sangat mendukungnya untuk menggapai semua ambisinya itu. Beberapa orang mencibir tindakanku, tapi aku tidak peduli. Setiap hari dia selalu menghadiri halaqah Imam Anas bin Malik, Imam Said bin Musayyab, Makhul as-Syami dan Salamah bin Dinar. Dia mencurahkan semua tenaga dan waktunya untuk ilmu.

Apabila seseorang mencibirnya, maka dia menjawab: “Aku mendengar Syaikh-syaikh kami berkata:

إِنَّ الْعِلْمَ لَا يُعْطِيكَ بَعْضَهُ إِلَّا إِذَا أَعْطَيْتَهُ نَفْسَكَ كُلَّهَا

“Sesungguhnya ilmu itu tidak akan memberikan sebagiannya kecuali apabila kau memberikan seluruh jiwa ragamu kepadanya.”

    Kecerdasan anakku diakui oleh para syaihnya. Tak heran bila pada usianya yang masih muda dia telah diperbolehkan memberi fatwa dan membuka halaqah di dalam masjid Nabawi. Saat melihatnya duduk di depan para pencari ilmu, air mataku tak terasa keluar. Hatiku bergetar melihat anak yang kuasuh dengan penuh kasih telah beranjak menjadi seorang imam.

    Suatu malam, aku tengah tidur. Sengaja pintu rumah tidak aku kunci, karena anakku masih berada di dalam masjid dan biasanya dia pulang larut malam. Tiba-tiba, aku dikejutkan dengan suara orang yang bertengkar di depan rumahku. Samar-samar aku mendengar suara Rabi’ah, anakku berkata kepada seorang lelaki.

Anakku berkata kepada lelaki itu: “Aku akan menyerahkanmu kepada amir, wahai musuh Allah.”

    Aku segera keluar hendak melihat dengan siapa anakku bertengkar di tengah malam begini. Aku mengamati lelaki itu, aku sangat kenal gesturnya. Begitu aku melihat wajah lelaki itu, seakan aku tersambar petir di Siang bolong. Lelaki itu adalah Faroukh suamiku yang tidak pernah pulang berpuluh tahun. Air mataku langsung merembas membasahi kedua pipiku.

Aku segera melerai mereka: “Hentikan... Rabi’ah.. hentikan anakku. Sesungguhnya lelaki ini adalah ayahmu!”

    Saat mendengar ucapanku sontak mereka berdua berhenti. Mereka saling berpandangan dan langsung berpelukan. Tangis haru pecah dari mereka berdua. Ya, mereka adalah ayah dan anak yang telah berpuluh tahun tidak pernah bertemu. Aku sangat gembira dengan kepulangan suamiku. Kamipun duduk berdampingan dan dia menceritakan semua kisah petualangannya selama 30 tahun lebih.

Tiba-tiba dia berkata: “Wahai Ummi Rabi’ah, ini adalah 4000 dinar. Mana uang yang aku tinggalkan untukmu? Aku berencana membeli kebun atau taman.

    Aku menaruh uang itu pada tempat yang uang itu wajib ditaruh padanya. Insya Allah, aku akan mengeluarkannya beberapa hari lagi.” Ucapku sambil tersenyum simpul. Aku memang sengaja tidak memberitahu apa yang kulakukan dengan uang 30.000 dinar itu. Aku ingin dia melihat sendiri apa yang telah aku hasilkan dengan uang itu.

    Tiba-tiba dari arah masjid terdengar suara adzan melantun dengan merdu. Faroukh bangkit dan segera mengambil wudhu’. Setelah itu, dia bergegas keluar lewat pintu depan. Faroukh terpengarah, dia menoleh ke arahku dan bertanya: “Mana Rabi’ah?”

    Dia mendahuluimu berangkat ke masjid sejak adzan yang pertama. Aku menduga kau tidak akan menemukan jama’ah.” Jawabku singkat. Suamiku segera berangkat ke masjid. Beberapa waktu kemudian, dia pulang dengan air mata yang memenuhi wajahnya.

Saat aku melihatnya, aku begitu sedih. Aku mendekatinya dan mencoba menghiburnya; “Ada apa wahai suamiku?”

Suamiku mengusap air matanya dan menjawab; “Saat aku berangkat ke masjid. Ternyata shalat jama’ah telah selesai dilaksanakan. Akupun shalat sendirian. Sesudah itu, di dalam masjid aku melihat halaqah ilmu yang sangat besar, sungguh aku tidak pernah melihat halaqah seperti itu sebelumnya. Aku melihat ratusan orang duduk mengelilingi Syaikh pengasuh halaqah itu.

    Aku segera mendekati halaqah itu agar bisa melihat wajah Syaikh dengan lebih jelas. Namun karena jumlah hadirin yang membludak, aku tidak bisa melihat wajahnya. Rasa penasaran itu mencengkeram erat hatiku, aku sangat penasaran pribadi Syaikh itu. Oleh sebab itu, aku menunggu hingga halaqah itu selesai agar dapat berbicang dengan beliau ataupun sekedar mendengar riwayat hidup Syaikh dari jama’ah yang lain.

    Saat halaqah telah selesai, rupanya Syaikh telah pergi. Aku segera mendekati seorang lelaki yang tadi kulihat duduk disamping Syaikh dan bertanya mengenai dirinya. Lelaki itu balik bertanya kepadaku; “Apakah di Madinah ada seseorang yang tidak mengetahui siapa beliau?”.

Aku menjawab: “Maafkan wahai saudaraku, aku telah pergi dari Madinah lebih dari 30 tahun dan baru kemarin aku datang.”

Lelaki itu tersenyum dan berkata: “Tidak masalah. Silahkan duduk, aku akan menceritakan diri Syaikh.”

    Aku segera duduk di samping lelaki itu. Lalu dia berkata: “Sesungguhnya Syaikh yang kau ingin dengar pribadinya adalah penghulu para Tabi’in. Dia adalah ahli hadits, ahli Fiqh dan imam ahli Madinah, walau usianya masih muda.”

Aku takjub mendengarnya, spontan aku berkata: “Masya Allah la Quwata illa billah.”

    Lelaki itu kembali melanjutkan ceritanya: “Seperti apa yang Anda lihat, majlis beliau ini mengumpulkan Anas bin Malik, Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Yahya bin Said, Sufyan as-Tsauri, Al-Auza’i, Laist bin Sa’ad dan ulama-ulama besar lainnya. Dan beliau lebih dari itu, beliau adalah penghulu yang mulia dan rendah hati.”

Aku berkata: “Tetapi Anda belum menyebut namanya, wahai saudaraku!”

Lelaki itu tersenyum dan berkata: “Namanya adalah Rabi’ah ar-Ra’yi.”

Aku berkata: “Rabiah ar-Ra’yi?”

    Lelaki itu menjawab: “Benar, sebenarnya namanya adalah Rabi’ah tetapi ulama Madinah memanggilnya Rabi’ah ar-Ra’yi, karena apabila beliau tidak menemukan suatu nash Al-Qur’an atau hadits pada suatu masalah, maka beliau akan berijtihad dan mengqiyaskan (analogi) masalah yang tidak ada nash dengan masalah yang memiliki nash.”

Aku bertanya: “Lantas siapa nama ayahnya?”

Lelaki itu menjawab: “Namanya Faroukh, yang dijuluki Abu Abdurrahman. Aku mendengar kemarin dia baru datang ke Madinah.”

Aku tersentak mendengarnya, ternyata Syaikh yang membuatku kagum adalah anakku sendiri. Ya, nama Syaikh itu adalah Rabi’ah bin Faroukh.

    Oleh sebab hal inilah, aku menangis wahai istriku. Sungguh aku melihat anak kita mencapai derajat ilmu yang tidak pernah aku lihat.” Jelas suamiku mengakhiri ceritanya. Aku terharu mendengar cerita suamiku, lantas aku bertanya kepadanya; “Mana yang lebih kau sukai, 30.000 atau derajat yang telah dicapai oleh anak kita dari ilmu?”

Suamiku menjawab: “Demi Allah, ini adalah apa yang aku sukai dan lebih agung daripada seluruh harta dunia.”

Aku berkata: “Sungguh aku telah menafkahkan uang yang kau tinggal untukku kepada hal itu. Lantas, apakah hatimu lega dengan apa yang telah kulakukan?”

Mata suamiku basah, suaranya serak lalu dia berkata: “Aku lega. Dan kau layak dibalas olehku, anak kita, dan seluruh kaum muslimin dengan sebaik-baik balasan.”


 

Posting Komentar untuk "30 Tahun Penantian, Pertemuan Tak Terduga"