Cahaya yang Tak Pernah Padam
Ada rindu yang tak pernah dilahirkan oleh kata.
Ia menetap diam-diam di dada, seperti hujan yang tak jadi turun, namun langit tetap menggantung mendung karena kehadirannya.
Setiap detik terasa seperti pertemuan yang tak sempat terjadi.
Setiap malam menjelma menjadi pertanyaan sunyi yang tak kunjung mendapat jawaban.
Tak ada pesan, tak ada suara hanya getaran halus yang selalu berlayar ke arahmu.
Kau tetap menjadi nama yang kugenggam rapat, bahkan saat tak lagi kupunya.
Di sela-sela tawa, selalu ada jeda yang diam-diam memanggil namamu.
Di antara banyak wajah yang datang dan pergi, hanya bayangmu yang tak pernah benar-benar berlalu.
Aku tak mencarimu. Tapi aku juga tak pernah bisa melupakan.
Kau tinggal di ruang terdalam yang tak dijangkau siapa pun—
sebuah ruang kecil yang sunyi, yang hangat,
yang menjelma menjadi satu-satunya cahaya yang tak pernah kupadamkan.
“The wound is the place where the Light enters you.”(Luka adalah tempat cahaya menyusup ke dalam dirimu.) — Rumi
Jika suatu hari kau merasa sesak tanpa sebab, mungkin itu adalah rinduku...
yang diam-diam mengetuk pintu jiwamu,
meski tak pernah memaksa untuk dibalas.
Awan tak pernah bertanya ke mana angin akan membawanya.
Ia hanya mengikuti takdir langit dengan kepasrahan yang tenang.
Kadang ia meneduhkan, kadang ia menangis dalam bentuk hujan,
namun ia tahu: setiap tetes air yang jatuh adalah cara semesta menumbuhkan kehidupan.
Maka jika hatimu terasa berat, jangan takut untuk melepaskan—
seperti awan yang rela luruh menjadi hujan.
Sebab terkadang, keikhlasan adalah jalan paling sunyi menuju ketenangan.
Dan setelah semua badai berlalu, kau akan kembali ringan,
melayang tinggi, menyapa mentari dengan senyum yang baru —
senyum yang lahir bukan dari pelupa,
tapi dari hati yang telah berdamai.
“Don’t grieve. Anything you lose comes round in another form.”(Jangan bersedih. Segala yang hilang akan kembali dalam wujud yang lain.) — Rumi
Posting Komentar untuk "Cahaya yang Tak Pernah Padam "