Mencintai Allah Sebelum Cinta Manusia: Kisah Pemuda, Istrinya, dan Nabi Isa a.s.
Angin sore itu membawa aroma tanah basah dan bisikan
kenangan dari masa silam. Aku tengah duduk di beranda sebuah masjid tua di
lereng bukit, kala seorang syekh sepuh mendekatiku. Jubahnya putih, janggutnya
memutih oleh waktu, dan matanya bening menatap jauh ke dalam kalbu. Dengan
suara lirih ia berkata, “Wahai anak muda, pernahkah engkau mendengar kisah
tentang seorang pemuda yang mencintai istrinya melebihi cintanya kepada Tuhan?”
Aku menggeleng. Ia pun tersenyum tipis dan memulai kisah
yang membuat jiwaku terguncang hingga hari ini. Kisah ini nyata, setidaknya
bagi hati yang mampu menangkap cahaya hikmah dari lorong waktu yang tak kasat
mata. Ini bukan dongeng, ini bukan khayal, ini adalah gema dari sejarah ruhani
yang masih hidup dalam nadi para pencari cinta sejati.
Syekh
itu lalu mulai bercerita dengan suara pelan namun jelas, seolah membukakan
tabir masa lalu yang pernah nyata:
Nabi Isa a.s. tengah berjalan melewati sebuah pemakaman.
Dari kejauhan dia melihat seorang pemuda tengah berdiri di samping sebuah
makam. Pemuda itu tengah menangis. Dia meratapi kepergian istri yang sangat dia
cintai. Sudah beberapa minggu dia berdiri di samping makam istrinya. Istrinya
merupakan seorang wanita tercantik di kalangan bani Isra'il. Namun sayang,
takdir berkata lain, istrinya harus menghadap Yang Maha Kuasa terlebih dahulu.
Nabi
Isa a.s. iba melihat sang pemuda. Dia lalu mendekatinya dan bertanya: "Apa
yang membuatmu menangis?"
Dengan
terisak pemuda itu menceritakan semua beban hatinya kepada Nabi Isa a.s.
Nabi
Isa a.s. tersenyum dan berkata: "Apakah kau suka apabila istrimu dengan
izin Allah kuhidupkan lagi?"
Sang
Pemuda menjawab: "Tentu saja, Wahai Nabi Allah."
Nabi
Isa a.s. menoleh ke arah makam itu dan memanggil penghuninya.
Tiba-tiba makam itu bergerak-gerak. Tanah makam itu bergetar
hingga terbelah menjadi dua. Sesosok tubuh hitam bangkit dari dalamnya. Sosok
hitam itu adalah seorang budak lelaki hitam. Dari kedua lubang hidung, mata dan
telinganya keluar api yang menjilat-jilat.
"Aku
bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah, dan Isa adalah Ruhullah." Ucap
budak hitam itu mengikrarkan keimanannya.
Kontan
sang pemuda terkejut melihat budak hitam itu. Dia segera menjauh dari makam.
"Wahai
Nabi Allah, bukan ini makam istriku tetapi yang ini." Ucap sang pemuda
seraya menunjuk sebuah makam di sampingnya.
Nabi
Isa a.s. memerintahkan budak hitam itu kembali ke tempatnya. Seketika itu juga,
budak hitam itu jatuh kembali ke liang lahatnya dan seketika langsung mati.
Kemudian,
Nabi Isa mendekati makam yang ditunjuk oleh pemuda itu.
"Berdirilah
wahai penghuni makam." Ucap Nabi Isa a.s. memanggil penghuni makam itu.
Makam itu bergetar. Kontan, tanah makam itu terbelah menjadi
dua. Keluarlah dari dalam makam itu seorang wanita yang cantik seraya
membersihkan debu yang menempel di rambutnya. Kontan sang pemuda menangis
syahdu. Dengan terisak dia berkata: "Dia adalah istriku wahai Ruhullah.
Dia adalah istriku."
Nabi
Isa a.s. berkata: "Bawalah dia!"
Sang pemuda segera membawa istrinya kembali ke rumahnya.
Hatinya sangat bahagia bisa bertemu dengan istrinya kembali. Tak jemu-jemunya
dia memandang wajah istrinya itu. Tubuhnya yang telah lelah, kini tak bisa
dikompromi lagi. Rasa kantuk telah menawan kedua matanya. Sang pemuda berkata
kepada istrinya, "Begadang telah membunuhku, kini aku mau
beristirahat."
Namun
malam itu, dalam tidurnya, datanglah seorang pangeran menunggang kuda putih. Ia
melaju cepat, melampaui awan, menembus kabut, membawa serta istri sang pemuda.
Ketika
sang pemuda terbangun, istrinya telah tiada.
Ia
mencarinya dengan hati remuk. Hingga akhirnya ia melihat dari kejauhan,
istrinya sedang dibonceng oleh seorang pangeran.
Sang
pemuda langsung berteriak: "Wahai pangeran, dia adalah istriku maka
lepaskan dia."
Sang
pangeran dan istri pemuda menoleh. Istri pemuda itu geram melihat suaminya
begitu kukuh mencarinya. Kemudian dengan ketus dia menjawab: "Huh, aku ini
adalah budak perempuan pangeran."
Dengan
tenang sang pangeran berkata: "Apakah kau cemburu pada budak
perempuanku?"
"Demi
Allah, dia adalah istriku. Sesungguhnya tuanku Isa a.s. menghidupkannya
untukku."
Tiba-tiba
datanglah Nabi Isa a.s. dari arah belakang mereka. Sang pemuda segera mendekati
Nabi Isa a.s. dan berkata: "Wahai Ruhullah, apakah perempuan itu adalah
perempuan yang telah engkau hidupkan untukku?"
Nabi
Isa a.s. menjawab: "Benar."
Istri
sang pemuda menyela. Dengan kasar dia berkata: "Wahai Ruhullah, Dia adalah
seorang pembohong. Saya adalah budak perempuan pangeran".
Dengan
santun Nabi Isa a.s. bertanya: "Bukankah kau itu adalah seorang perempuan
yang kuhidupkan atas izin Allah itu?"
Istri
sang pemuda terkejut. Dia panik dan dengan terbata-bata dia menjawab:
"Demi Allah, bukan aku wahai Ruhullah."
Nabi
Isa a.s. menatap tajam wanita itu. kemudian dia berkata: "Kembalikan
kepada kami apa yang telah kami berikan kepadamu"
Spontan
istri pemuda itu langsung mati.
Nabi Isa a.s. berkata: "Barangsiapa yang ingin melihat
seseorang yang mati dalam keadaan kafir kemudian aku menghidupkannya dan dia
beriman kepadaku. Lantas dia mati dalam keadaan beriman, maka lihatlah budak
hitam itu. Dan barangsiapa ingin melihat seseorang yang mati dalam keadaan
beriman dan mati beriman lalu Allah menghidupkannya tapi dia kafir dan mati
dalam keadaan kafir maka lihatlah perempuan ini."
Sang pemuda begitu sedih. Dia bersumpah tidak akan menikah
lagi untuk selamanya. Dia keluar ke dalam hutan dan di sana dia beribadah
kepada Allah hingga maut menjemputnya.
Syekh
itu memejamkan matanya sejenak. “Lihatlah, wahai anak muda,” katanya lirih.
“Betapa cinta yang tidak dituntun oleh cinta kepada-Nya dapat menjadi buih yang
memabukkan.”
Lalu
ia membaca syair Jalaluddin Rumi:
“Aku
dahulu pandai mencintai, tetapi aku tak tahu bahwa cinta bisa membunuh. Namun
saat aku mencintai-Nya, cinta menjadi sebab aku hidup selama-lamanya.”
Ia
membuka kitab tua yang dibawanya. Dari sana ia bacakan pula bait dari Laila dan
Majnun:
“Laila
bukanlah kekasih di dunia fana, Dia adalah cermin yang memantulkan cahaya Yang
Maha Esa.”
Air
mataku mengalir tanpa bisa kutahan. Aku mulai memahami, bahwa segala bentuk
cinta sejati haruslah berakar pada-Nya.
Syekh
itu melanjutkan:
“Jangan
kau jadi seperti pemuda itu, yang mencintai makhluk, tapi lupa pada
Penciptanya. Lihatlah bagaimana akhir yang ditentukan Allah, karena cinta yang
tak lurus menuntun pada kebutaan jiwa.”
Dan
dia menutup dengan syair agung Rabiah al-Adawiyah:
“Ya
Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka, bakarlah aku di dalamnya, dan
jika aku menyembah-Mu karena menginginkan surga, haramkanlah aku darinya. Namun
jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, janganlah Kau halangi aku dari
melihat wajah-Mu.”
Aku
tersungkur. Dalam diam aku tahu, bahwa hari itu aku telah belajar satu hal:
Mencintai-Nya
lebih dahulu adalah jalan menuju cinta yang kekal, cinta yang tak mengkhianati,
dan cinta yang menghidupkan.
Rasulullah
ﷺ bersabda:
"Wanita
itu dinikahi sebab 4 hal, karena kecantikannya, kedudukannya, nasabnya dan agamanya.
Maka pilihlah wanita yang memiliki agama, hingga kalian beruntung."
TAMAT
Posting Komentar untuk "Mencintai Allah Sebelum Cinta Manusia: Kisah Pemuda, Istrinya, dan Nabi Isa a.s."