Ketika Cinta Berawal dari Allah: Kisah Nyata Syuraikh al-Qadhi dan Istri Shalihah

 




MUKADIMAH

 

Dalam kehidupan yang fana ini, banyak kisah yang lahir dari pertemuan dua hati. Namun sedikit sekali kisah yang bermula dari perjumpaan dua jiwa yang lebih dahulu mencintai Sang Pencipta sebelum mencintai satu sama lain. Inilah kisah cinta yang bukan sekadar manisnya dunia, tetapi cinta yang berakar pada iman, tumbuh dalam ketaatan, dan berbunga dalam kasih sayang yang diridhai Allah. Di tengah hiruk-pikuk zaman dan gelapnya syahwat dunia, kisah ini hadir bak pelita yang menerangi jalan hati menuju-Nya.

Sebagaimana kata Jalaluddin Rumi:

 

“This is love: to fly toward a secret sky, to cause a hundred veils to fall each moment. First to let go of life. Finally, to take a step without feet.”

Beginilah cinta yang mengakar pada cinta Ilahi. Bukan sekadar perasaan, tapi jalan menuju kedalaman jiwa.

 

 

 

Ku berjalan melewati jalanan kota Kuffah. Langit tampak biru keperakan, seolah menyaksikan ribuan langkah manusia yang mencari makna di bawahnya. Angin yang lembut mengayun debu-debu di jalanan, menari seolah menyambutku kembali ke tanah yang sarat hikmah. Tidak sengaja aku bertemu dengan Syuraikh al-Kindi. Aku tersenyum, dan segera mendekati sahabatku itu. Aku sangat mengenal Syuraikh al-Kindi atau yang lebih dikenal dengan Syuraikh al-Qadhi. Syuraikh disebut al-Qadhi karena dia adalah seorang Hakim yang bijaksana.

 

Syuraikh diangkat langsung menjadi Qadhi oleh Amirul Mukminin, Umar bin Khattab karena menyelesaikan permasalahan beliau dengan seorang Badui dengan bijak. Bila dihitung, sudah bertahun-tahun dia menjadi Hakim di kota Kuffah ini. Aku mengucapkan salam dan duduk di samping Syuraikh. Lalu aku berkata: "Wahai Abu Umayyah (Kun-yah atau nama panggilan Syuraikh al-Qadhi), bagaimana kau menemukan keadaan istrimu?".

 

Mendapat pertanyaan seperti itu, tiba-tiba wajah Syuraikh yang cerah menjadi suram.

Guratan kesedihan terpancar dari wajahnya yang putih itu. Dia menghela napas dan berkata: "Wahai Asy-Sya'bi, semenjak 20 tahun, aku tidak pernah melihat sesuatu perkara dari istriku yang membuatku marah".

Aku tersentak dan berkata: "Bagaimana bisa demikian?".

Syuraikh berkata: "Pada malam pertama pernikahan kami. Aku menemui istriku dan aku melihat darinya kecantikan yang sangat menggoda dan keelokan yang langka. Maka aku berkata dalam diriku: 'Aku akan berwudhu dan sholat dua raka'at, untuk bersyukur kepada Allah'.

 

Saat aku salam dari sholatku, ternyata aku mendapati istriku menjadi makmum di belakangku. Tatkala aku menoleh kembali ternyata ia telah berada di atas tempat tidur. Lalu akupun mengulurkan tanganku kepadanya. Tiba-tiba dengan halus ia berkata: 'Sebentar, tetaplah di posisimu wahai Abu Umayyah, suamiku'.

 

Aku tersentak dan menuruti permintaannya. Lalu ia berkata: 'Segala puji bagi Allah, aku menyanjung-Nya, dan aku memohon pertolongan-Nya. Aku bersholawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya, kemudian dari pada itu:

Sesungguhnya aku adalah seorang wanita asing yang tidak mengetahui tentang akhlakmu, maka tolong jelaskanlah kepadaku apa yang engkau sukai agar aku bisa kerjakan dan apa yang engkau benci untuk aku jauhi.

 

Sesungguhnya dalam kaummu wanita yang bisa engkau nikahi, dan pada kaumku ada lelaki yang sekufu (setara) denganku (yang bisa menikahiku), akan tetapi jika Allah telah memutuskan keputusan-Nya, maka yang terjadi adalah keputusan-Nya. Engkau telah memiliki diriku, maka lakukanlah apa yang Allah perintahkan kepadamu, (yaitu) bergaul dengan baik atau menceraikan dengan cara yang baik. Demikianlah apa yang aku haturkan kepadamu, dan memohon ampunan dari Allah untuk diriku dan untukmu'.

 

"Maka demi Allah wahai Asy-Sya'bi," Ucap Syuraikh seraya menatapku dengan lekat, "istriku menjadikan aku untuk berkhutbah pada saat itu. Maka aku berkata:

"Segala puji bagi Allah, aku menyanjung-Nya dan memohon pertolongan-Nya, serta aku bersholawat kepada Nabi Muhammad dan keluarganya. Kemudian dari pada itu:

 

Sesungguhnya engkau wahai istriku telah mengucapkan suatu perkataan yang jika engkau tegar di atasnya, maka hal itu merupakan kebaikanmu. Akan tetapi jika hanya merupakan pengakuan belaka, maka akan menjadi boomerang bagimu. Sesungguh-nya aku suka ini dan itu, dan aku membenci ini dan itu, maka apa saja kebaikan yang engkau lihat maka sebarkanlah, dan keburukan apa saja yang engkau lihat maka tutuplah".

 

Kemudian istriku berkata: "Bagaimana sikap yang kau sukai dalam kunjungan keluargaku?". Aku berkata: "Aku tidak ingin kunjungan mereka menjadikan aku bosan".

Istriku berkata: "Siapa tetanggamu yang engkau sukai untuk masuk di rumahmu agar aku mengizinkannya, dan siapa tetanggamu yang engkau benci?". Aku berkata: "Bani Fulan orang-orang yang sholeh, dan Bani Fulan orang-orang yang buruk".

 

"Maka malam itu akupun tidur bersamanya dengan malam yang terindah, dan aku hidup bersamanya setahun. Dimana dalam setahun itu, aku tidak melihat sesuatupun darinya kecuali apa yang aku sukai. Tidaklah datang hari bersamanya kecuali lebih baik dari hari sebelumnya". Ucap Syuraikh dengan mata berkaca-kaca.

Hatiku bergetar mendengar penuturan Syuraikh. Sungguh dia adalah orang yang paling beruntung di dunia ini, karena mendapat bidadari seperti itu. Kemudian dengan suara yang berat dia meneruskan kisahnya.

 

"Tatkala genap setahun aku hidup bersamanya, suatu hari aku baru pulang dari tempat pengadilan. Tiba-tiba di rumahku ada seorang wanita tua yang memerintah-merintahnya dan melarang-larangnya.

 

Aku heran dan segera mendekati istriku lalu bertanya: "Siapa wanita ini?".

Istriku berkata kepadaku: "Itu adalah ibu istrimu."

Lalu ibunya menoleh kepadaku dan bertanya: "Bagaimana kau dapati istrimu?"

Aku berkata: "Istri yang terbaik".

Ibunya tersenyum dan berkata: "Wahai Abu Umayyah, jika engkau melihat keraguan pada istrimu maka cambuklah ia, didiklah ia dengan apa yang engkau kehendaki dan aturlah ia sesuai dengan yang kau kehendaki".

 

Dan setiap tahun ibunya datang mengunjungi kami dan mengucapkan perkataannya tersebut. Akupun tinggal bersamanya selama 20 tahun, aku tidak pernah memarahinya sama sekali kecuali hanya sekali, dan saat itu akulah yang dzolim kepadanya. Dan istriku akhirnya meninggal. Syuraikh terdiam sejenak, disusutnya air mata yang telah menggumpal di pelupuk matanya. Lalu dia bernafas panjang dan berkata: "Sungguh aku berangan-angan seandainya aku memberikan sebagian umurku untuknya, atau aku dan dia meninggal bersama dalam hari yang sama".

قالت رابعة العدوية: أحبك حبين حب الهوى وحباً لأنك أهلٌ لذاك

 

Kata Rabi’ah al-Adawiyah: Aku mencintai-Mu dengan dua cinta—cinta karena kerinduan jiwa, dan cinta karena Engkau memang layak dicinta.

**

 

Begitulah cinta sejati: berakar dari langit, tumbuh di bumi, dan berbuah dalam keabadian. Sebagaimana kisah Qais yang jatuh cinta pada Laila, hingga larut dalam kegilaan rindu, namun tetap menyebut nama Allah di tengah-tengah puisi cintanya:

 

“Aku mencintai Laila, bukan karena keelokan wajahnya, tetapi karena jiwanya adalah taman tempat ruhku berteduh dari dunia.”

 

Namun kisah Syuraikh dan istrinya, bukan hanya tentang cinta dua insan. Ini adalah kisah keajaiban iman dan adab yang bersemi dalam ikatan pernikahan. Kisah di mana cinta tumbuh bukan dari hasrat, tetapi dari kerendahan hati dan kesalingan dalam bertakwa.

Di antara syair-syair Rumi yang terngiang di benakku:

 

“Love is the bridge between you and everything.”

 

Cinta yang sejati tidak memisahkan, tapi menyambungkan. Ia bukan sekadar rasa, tapi jalan kembali kepada Dia.

 

Dalam cinta seperti ini, setiap malam adalah ibadah, setiap kata adalah doa, dan setiap kehilangan adalah pengingat bahwa yang abadi hanya satu: Allah. Kisah ini tak sekadar romantika, ia adalah peta menuju kehidupan yang lebih tinggi. Ia mengajarkan bahwa sebelum mencintai siapa pun, kita harus belajar mencintai-Nya. Karena dari cinta itulah, semua cinta yang lain menemukan maknanya.

 

Semoga kita semua, yang membaca kisah ini, diberi keberkahan untuk mencintai—dengan cinta yang lurus, bersumber dari-Nya, dan kembali pada-Nya.

 

اللهم اجعلنا من الذين يحبونك حباً خالصاً، ويحبون من يحبك، ويجعلون حبهم نوراً يهديهم إليك

 

Ya Allah, jadikanlah kami termasuk orang-orang yang mencintai-Mu dengan cinta yang tulus, mencintai siapa saja yang mencintai-Mu, dan menjadikan cinta kami cahaya yang menuntun kami kepada-Mu.

آمين

 








Posting Komentar untuk "Ketika Cinta Berawal dari Allah: Kisah Nyata Syuraikh al-Qadhi dan Istri Shalihah"