Istana Cinta dalam Reruntuhan Hati
![]() |
Univ Imam Syafi'i Mukalla |
Istana
Cinta dalam Reruntuhan Hati
Kisah
Cinta yang Berakar pada Langit dan Menyubur di Bumi
“Cinta
bukanlah mencari seseorang untuk hidup bersamanya.
Tapi cinta adalah menemukan Dia yang tanpanya, kita tidak bisa hidup.”
— Jalaluddin Rumi
Bab
1
Lelaki
dari Baidho
Orang-orang
sering berkata bahwa lelaki yang paling romantis datang dari Paris atau Praha,
dari Vienna atau Venesia. Tapi aku mengenal seorang lelaki dari Baidho, sebuah
kota di utara Yaman, yang mengalahkan seluruh kisah cinta di daratan Eropa.
Bukan karena kata-katanya yang manis, tapi karena caranya mencintai dalam diam,
memuliakan dalam laku, dan menyembah dalam tangis.
Dia
adalah suami dari sahabatku, Khadijah.
“Suamimu
itu luar biasa,” ucapku suatu sore, di teras rumah Khadijah, ketika matahari
mulai merunduk di barat.
“Benar,
Halimah. Aku tidak bisa mengingkari bahwa dia lelaki terbaik yang pernah
kutemui,” katanya. Namun, tak lama kemudian, wajahnya berubah. Matanya yang
biasanya berbinar, kali itu meredup. “Tapi andai kau tahu apa yang pernah kami
lalui...”
Lalu,
dari matanya mengalir kisah cinta yang bukan sekadar romansa, tapi sebuah
pengembaraan jiwa melewati gelombang duka, dan pulang ke pelabuhan yang bernama
Allah.
Bab
2
Patah,
Tapi Tak Runtuh
Khadijah
menceritakan malam-malam pertamanya bersama lelaki itu seorang suami yang
begitu halus adabnya, imam yang selalu mendahului salam, dan teman bicara yang
tak pernah meninggikan suara.
Namun,
badai itu datang. Tak terduga. Tak diundang. Sang suami jatuh dalam kesulitan
ekonomi, lalu pelan-pelan kehilangan arah. Mabuk, judi, pulang dalam keadaan
tak sadar, lalu menghilang.
“Bahkan
wajahnya tak lagi kukenal. Yang pulang ke rumah adalah raga yang kosong.
Hatinya seakan tak tinggal lagi di sini.”
Namun,
Khadijah memilih bertahan. Bukan karena takut kehilangan, tapi karena yakin
bahwa yang ditanam dengan cinta kepada Allah, tak akan layu oleh ujian dunia.
Ia
bekerja, membuat roti untuk menyambung hidup. Ia bersabar atas cercaan dan
tekanan. Tapi yang paling hebat: ia menengadahkan tangannya dalam keheningan
malam.
اللهم
اهده، ورده إليك رداً جميلاً
"Ya Allah, bimbinglah dia, dan kembalikan dia kepada-Mu dengan cara
yang indah."
Bab
3
Gelap
Tak Pernah Abadi
Tiga
bulan lamanya, Khadijah menunggu. Dunia berkata ia gila. Tapi ia menjawab
dengan iman:
Dan
benar, fajar itu datang dalam wujud suaminya yang pulang membawa air mata dan
penyesalan. Lelaki yang dulu ia nikahi telah kembali, tidak dengan tangan penuh
harta, tapi dengan hati yang bersujud penuh luka.
“Apakah
kamu masih istriku?” tanyanya.
“Bukankah
hanya kamu yang bisa menceraikan?” jawab Khadijah dengan senyum haru.
Mereka lalu pergi bersama menuju Tarim, Hadramaut kota para wali dan kekasih Allah. Di sana, di bawah naungan ilmu dan doa Habib Umar bin Hafidz, suaminya belajar kembali menjadi laki-laki, menjadi hamba, dan menjadi pecinta sejati yang memulai cinta bukan dari dunia, tapi dari Tuhan.
Bab
4
Ketika
Cinta Pulang
Kini
Khadijah dan suaminya hidup dalam kesederhanaan, bekerja sebagai pembuat roti
di dapur para santri. Tapi aroma rotinya seperti aroma sabar, ketulusan, dan
doa-doa panjang di sepertiga malam. Rumah tangga mereka tak besar, tapi kokoh.
Tak megah, tapi bercahaya.
Dan
aku, Halimah, hanya bisa diam penuh kagum. Aku belajar hari itu, bahwa cinta
sejati bukan soal siapa yang membuat kita tertawa. Tapi siapa yang bersedia
menangis bersama di sajadah, sambil tetap yakin bahwa Allah takkan
menyia-nyiakan air mata seorang hamba.
Bab
5
Doa dan Sabda Malam
Malam-malam
panjang Khadijah dipenuhi dengan air mata dan lantunan doa. Bukan tangisan
keputusasaan, tapi linangan rindu yang penuh harap pada Sang Pemilik Cinta.
Dalam sepertiga malam yang sunyi, ia bangun dengan segenap luka dan cinta.
"Ya
Allah, jika Engkau jadikan cinta sebagai ujian, maka kuatkan aku dalam
menempuhnya. Jangan biarkan aku jatuh cinta kepada makhluk-Mu tanpa lebih dulu
mencintai-Mu."
Suara
lantunannya menyatu dengan detak waktu malam. Dalam benaknya, syair Jalaluddin
Rumi bergema:
"Hancurkan
rumah hatiku dengan cinta-Mu, Ya Allah, hingga tak ada ruang selain untuk-Mu.
Lalu bangunlah kembali istana-Nya, di mana Engkau dan aku tiada terpisah."
Cinta
Khadijah kepada suaminya tidak mendorongnya menjadikan suaminya sebagai pusat
hidup. Justru semakin dalam cinta kepada suami, semakin kuat ia berpaut kepada
Allah. Ia tak ingin menjadi wanita yang kuat karena mencintai laki-laki, tapi
menjadi wanita yang kokoh karena mencintai Allah yang tak pernah
mengecewakannya.
Pada
suatu malam, ia menulis sebuah syair untuk dirinya sendiri:
"Jika
bukan karena-Mu, aku tak tahu bagaimana bertahan. Jika bukan karena janji-Mu,
aku sudah lama menyerah. Maka bahagiakan aku, dengan cinta yang Kau redhai, dan
tunjukkan padaku jalan para kekasih-Mu."
Bab
6
Fajar yang Menari di Ujung Air Mata
Ketika
sang fajar kembali menyapa bumi, ia hadir sebagai cahaya kemenangan setelah
gelap yang panjang. Khadijah menyambut kembalinya suaminya dengan pelukan air
mata dan keteguhan cinta.
Malam
ketika suaminya pulang, terasa seperti takdir yang menetes perlahan dari
langit.
"Kamu
masih istriku, bukan?" tanya suaminya lirih.
"Tentu
saja," jawab Khadijah, dan pelukan mereka menjadi saksi penyatuan dua jiwa
yang hancur dan dibangun kembali oleh kasih Tuhan.
Dalam
perjalanan menuju Tarim, mereka seperti dua peziarah cinta yang tak ingin
kembali. Dan di tengah perjalanan itu, Khadijah teringat syair Qais Majnun:
_"Aku
mencintainya bukan karena wajahnya, tetapi karena ia adalah jalan yang
membawaku kepada-Nya."
Kini, suaminya bukan hanya lelaki duniawinya. Ia adalah teman seperjalanan menuju Allah, rekan sujud dalam tahajjud, dan sahabat setia di jalan tobat.
Bab
7
Cinta yang Menemukan Rumahnya
Di
dapur sederhana milik Habib Umar bin Hafidz, aroma roti dan dzikir menyatu
dalam harmoni. Di sana, sang suami menjadi roti yang memberi kenyang, dan
Khadijah menjadi doa yang memberi rasa.
Mereka
bukan pasangan sempurna. Tapi mereka adalah pasangan yang dipertemukan oleh
luka dan disatukan oleh doa.
Di
suatu pagi, Habib Umar berkata pada mereka, "Cinta sejati bukan tentang
seberapa bahagianya kalian bersama, tapi tentang seberapa sering kalian
mengingat Allah bersama."
Dan
benar, cinta yang dibangun atas cinta kepada Allah tak akan runtuh oleh badai
dunia. Kini rumah tangga Khadijah adalah rumah tempat Allah disebut dalam
setiap nafas.
Seperti
syair Ibnu Faridh:
"Cinta
bukanlah sesuatu yang kau minta, atau kau raih. Ia datang seperti cahaya dari
Tuhanmu, menerangi yang layak disinari."
Dan dalam cahaya itulah Khadijah dan suaminya menemukan rumah: rumah Allah di dalam hati mereka.
Bab
8
Jalan Berkabut Menuju Cahaya
Perjalanan
Khadijah dan suaminya di pesantren Habib Umar membawa mereka ke dunia yang baru
dunia di mana hati diuji, dan jiwa dibersihkan dari segala kotoran duniawi.
Tapi jalan menuju cahaya itu tidak selalu lurus dan terang. Kadang berkabut,
penuh tantangan yang tak terduga.
Suaminya
menghadapi ujian batin yang sangat berat. Kadang rasa malu dan penyesalan
membelenggu langkahnya. Namun Khadijah tetap berdiri kokoh, menjadi pelita
dalam gelapnya malam suaminya.
Dalam
keheningan malam, Khadijah sering membisikkan doa:
"Ya
Rabb, tuntunlah hamba-Mu yang sedang tersesat ini kembali pada-Mu. Jadikan
hatinya seperti cermin yang memantulkan cahaya-Mu."
Dan
di dalam hati Khadijah bergema bait-bait Rumi:
"Jangan
menyerah ketika awan hitam menyelimuti. Di balik awan itu ada mentari yang
menunggu untuk bersinar kembali."
Mereka belajar bahwa perjalanan cinta yang sejati adalah perjalanan menuju Allah, dan setiap ujian adalah ladang pahala yang menanti.
Bab
9
Fajar yang Tak Pernah Padam
Waktu
berlalu, dan cinta mereka yang dibangun atas fondasi doa dan pengharapan mulai
bersemi kembali dengan kekuatan yang baru.
Suaminya
kini bukan hanya suami yang lebih baik, tapi juga hamba yang lebih dekat dengan
Tuhannya. Mereka bersama-sama menjalani hari dengan penuh kesyukuran dan ridha.
Khadijah
menulis sebuah syair dalam hatinya:
Mereka
pun menyadari bahwa cinta yang hakiki bukan sekadar perasaan, tapi juga
pengorbanan, kesabaran, dan penyerahan diri kepada kehendak Allah.
Seperti
syair Ibnu Faridh yang mereka ingat selalu:
Kisah Khadijah dan suaminya menjadi pelajaran bahwa cinta yang dibimbing oleh cahaya Ilahi tak akan pernah hilang, bahkan ketika badai kehidupan menerpa
Epilog
Di Titik Perjumpaan Cinta dan Tauhid
Dalam
kitab kehidupan, kisah Khadijah dan suaminya adalah satu dari sekian banyak
ayat cinta yang ditulis dengan air mata, doa, dan kesetiaan. Mereka bukan tokoh
sempurna, tetapi seperti tanah yang merindukan hujan, mereka selalu membuka
diri untuk rahmat.
Setiap
luka yang mereka alami menjadi pintu masuk bagi cahaya. Dan setiap doa yang
mereka panjatkan, menjadi jembatan menuju Sang Kekasih Sejati. Cinta mereka
telah menemukan rumahnya bukan di istana
atau pujian manusia, melainkan di sebuah tempat sunyi, tempat ruh mereka saling
berpegangan dalam zikrullah.
Seperti
kata Rabiah al-Adawiyah:
"Aku
mencintai-Mu dengan dua cinta: cinta karena diriku, dan cinta karena-Mu. Cinta
karena diriku, membuatku senantiasa mengingat-Mu. Cinta karena-Mu, membuat
tirai antara aku dan Engkau tersingkap."
Kini
mereka berjalan di jalan yang tak butuh banyak kata. Cinta mereka telah
matang tak lagi menuntut, hanya memberi.
Tak lagi ingin memiliki, hanya ingin membersamai dalam taat.
Di
bawah langit Tarim, mereka berdua adalah dua bintang kecil yang saling
menyinari. Dan pada akhirnya, setiap cinta yang lahir dari sujud, akan kembali
kepada Pemilik Sujud dengan utuh dan indah.
Posting Komentar untuk "Istana Cinta dalam Reruntuhan Hati"