Doa yang Menembus Langit ; Kisah Pemuda Buta dan Jodohnya
Bab
1
Ini adalah kisah nyata yang sempat menggetarkan Timur Tengah. Tentang
seorang pemuda buta, namun hafal Al-Qur’an, yang mengajarkan kepada kita betapa
dahsyatnya doa yang tulus dan penuh keyakinan. Pemuda ini berusia 23 tahun,
buta sejak kecil. Meskipun matanya tak melihat dunia, jiwanya menyinari
sekelilingnya. Ia tumbuh sebagai pribadi shalih, hafal Al-Qur’an, dan
senantiasa menjaga ibadah. Suatu hari, ia berkata kepada ayahnya:
"Ayah, aku
merasa ingin menikah."
Namun sang ayah
selalu mematahkan niatnya. Katanya:
"Nak, siapa
yang mau menikah denganmu? Kau buta, tak bisa melihat. Kau sendiri masih harus
diurus orang lain. Belum tentu ada perempuan yang bersedia menikah denganmu.
Nantilah, nanti saja."
Setiap kali sang anak meminta izin untuk menikah, jawaban serupa
dilontarkan. Hingga akhirnya si pemuda pun diam. Tapi bukan dalam putus asa,
melainkan dalam kekhusyukan menuju Allah. Ia mulai menempuh jalan malam tahajud. Malam demi malam ia bangun, berdoa
dengan tangis yang tak terdengar oleh siapa pun kecuali Tuhan.
"Ya Allah,
karuniakanlah aku seorang istri yang cantik, kaya, dan cerdas. Tunjukkanlah
kepada ayahku bahwa aku pantas untuk menikah."
Ia tidak berdoa
satu-dua malam saja. Ia istiqamah dalam tahajud selama 30 hari penuh, memohon
dengan sepenuh jiwa.
Syair Jalaluddin
Rumi seakan menggambarkan hatinya:
"Jika
kau hanya mengetuk pintu cinta sekali dan itu tidak terbuka, jangan pergi.
Teruslah mengetuk, karena di balik pintu itu, Tuhan menanti untuk memberi lebih
dari yang kau minta."
Pada malam
ke-29, langit menjawab. Dalam tidurnya, ia bermimpi. Suara tak dikenal
menyapanya:
"Wahai
hamba Allah, doamu telah dikabulkan. Jodohmu adalah seorang wanita bernama
Fulanah, putri dari Fulan, yang tinggal di kampung sebelah."
Pagi itu, dengan semangat membara,
ia sampaikan mimpinya pada ayahnya. Ayahnya terdiam. Apalagi perempuan yang
dimaksud adalah putri seorang tokoh kaya, cerdas, dan sangat cantik banyak
pemuda melamarnya namun ditolak semua.
Namun karena tersentuh oleh
kesungguhan anaknya, ayah pun luluh. Mereka berdua menuju rumah gadis tersebut.
Dengan hati berdebar, mereka mengutarakan niat. Sang ayah bicara dengan
gemetar:
"Ini anak saya. Dia buta, tapi
hafal Al-Qur’an. Dia shalih, meski tidak punya pekerjaan tetap. Ia meminta saya
untuk melamarkan anak Bapak."
Tuan rumah terdiam. Lalu tersenyum
dan menjawab:
"Saya terima lamarannya."
Ayah si pemuda terkejut:
"Kenapa begitu cepat Bapak
menerima, tanpa bertanya lebih dulu?"
Tuan rumah menjawab:
"Karena saya juga bermimpi
semalam. Dalam mimpi itu saya mendengar suara: 'Besok akan datang seorang
laki-laki buta dari kampung sebelah, hafal Qur’an, bernama Fulan. Terimalah
lamarannya.' Maka saya yakin, inilah yang dijanjikan Allah."
Namun ia tetap harus bertanya
kepada putrinya. Maka ia masuk dan berkata:
"Nak, ada seorang pemuda dari
kampung sebelah. Dia buta, tapi hafal Al-Qur’an, dan orang yang baik. Ia ingin
melamarmu. Namanya Fulan."
Sang putri tersentak dan menjawab
dengan suara gemetar:
"Ayah... semalam aku juga
bermimpi. Dalam mimpi itu aku mendengar suara: 'Besok akan datang seorang
laki-laki dari kampung sebelah, buta, hafal Qur’an, bernama Fulan. Terima
lamarannya, dia akan membahagiakanmu.'"
Bab
2
Sujud
yang Menghadirkan Keajaiban
Lamaran pun diterima. Pernikahan digelar dengan kesederhanaan, namun
kemuliaan memenuhi ruangan. Tidak ada pesta mewah, namun para malaikat
menghadiri mereka. Tidak ada cahaya lampu kristal, tapi ada nur dari surga yang
menyelimuti rumah kecil itu. Sejak hari itu, sang istri menjadi matanya, dan
sang suami menjadi cahaya hatinya. Mereka bukan pasangan sempurna, tapi mereka
berjalan dalam kesempurnaan qadha dan qadar.
Dalam sujud
malam-malam berikutnya, sang pemuda berkata:
"Ya Allah,
Engkau tidak hanya memberi apa yang aku minta. Tapi Engkau beri lebih dari itu.
Engkau beri istri yang tak hanya cantik, kaya, dan cerdas, tapi juga
mencintaiku karena cinta-Mu."
Dan syair Qais
Majnun menggema:
"Aku
mencintainya bukan karena wajahnya, tetapi karena ia membawaku lebih dekat
kepada-Mu, Ya Rabb."
Sementara sang
istri, dalam diamnya, merenungi syair Rabiah al-Adawiyah:
"Aku
mencintai-Mu karena cinta-Mu. Jika bukan karena-Mu, aku tak akan mencintai
siapa pun."
Mereka hidup sederhana. Tapi setiap malam adalah malam perjumpaan. Setiap
makan adalah jamuan syukur. Dan setiap hari, mereka berbagi cinta yang tak
terucap cinta yang lahir dari sujud, dan
akan kembali dalam sujud.
Bab
3
Langit
yang Mengaminkan Doa-doa
Kini, bertahun-tahun setelah pernikahan itu, banyak yang datang kepada
pasangan ini untuk meminta doa dan nasihat. Mereka tak jadi ustadz, tak jadi
tokoh agama. Tapi kehidupan mereka adalah dalil hidup bahwa mukjizat tidak pernah berhenti. Bahwa
langit masih terbuka bagi mereka yang bersungguh hati Suatu hari, sang pemuda
berkata kepada seorang pemuda lain yang datang padanya:
"Jangan
minta jodoh yang kamu inginkan. Minta jodoh yang Allah tahu terbaik untukmu.
Tapi mintalah dengan air mata, mintalah dengan malam-malam yang tidak
tidur."
Dan langit pun
bersaksi bahwa cinta yang suci masih ada. Cinta yang tidak lahir dari mata,
tapi dari doa. Cinta yang tidak dimulai dari pandangan, tapi dari penghambaan.
Cinta seperti
ini tak butuh kisah panjang. Tapi biarlah ia dicatat oleh para malaikat dalam
kitab yang tidak pernah hilang.
Karena seperti
kata Jalaluddin Rumi:
"Doamu
melampaui langit, walau kau sendiri tak bisa berjalan. Karena hatimu telah
lebih dahulu sujud, bahkan sebelum tubuhmu menunduk."
Dan cinta pun
menjadi lengkap. Bukan karena ia sempurna, tapi karena ia dibenamkan dalam
takdir dan dibungkus oleh cinta Tuhan.
Bab
4
Sabar
yang Menjadi Cahaya
Waktu berlalu. Sang pemuda tetap buta. Namun penglihatannya terhadap
makna hidup semakin tajam. Ia mengajar anak-anak menghafal Al-Qur’an. Istrinya
membantu, mendampingi dengan kelembutan dan ketulusan. Setiap malam mereka
tetap menjaga tahajud, seolah perjanjian cinta itu harus terus disiram dengan
air mata malam. Dan dari tempat kecil itu, cahaya tersebar ke seluruh kampung.
Orang-orang
berkata:
“Kami tidak
melihat mukjizat Nabi Musa membelah laut, tapi kami melihat mukjizat doa
membelah takdir.”
Syair Ibnu
Faridh pun terucap:
“Engkau pikir
cinta itu hanya kata-kata? Ia adalah lautan, dan tangisan adalah perahunya.”
Bab
5
Hati
yang Buta Lebih Berbahaya
Suatu hari, ada seorang pemuda tampan, kaya, dan pintar datang. Ia
bertanya kepada sang istri:
"Apa yang
membuatmu menerima suamimu yang buta ini, padahal banyak pria tampan datang
padamu?"
Sang istri
menjawab:
"Karena
kalian semua melihat dengan mata, tapi tidak dengan hati. Suamiku memang buta,
tapi hatinya penuh cahaya. Dan aku ingin berjalan dalam cahaya itu menuju
surga."
Ia mengutip
syair Arab:
“Bukan mata
yang buta, tapi hati yang ada di dalam dada itulah yang buta.”
Bab
6
Doa
yang Tak Pernah Mati
Mereka telah menua. Tapi cinta mereka tak lapuk. Mereka berjalan bersama,
meski perlahan. Mereka tertawa bersama, meski tanpa suara. Dan mereka menangis
bersama, tapi tak lagi karena meminta, melainkan karena bersyukur.
Doa sang pemuda kini menjadi cahaya bagi generasi setelahnya. Banyak
pemuda menghafal Al-Qur’an karena kisahnya. Banyak yang menikah bukan karena
rupa, tapi karena takwa.
Dan setiap
malam, saat tubuh renta itu bangkit untuk tahajud, langit kembali terbuka, seperti
malam ke-29 di masa lalu.
Epilog
Kisah ini bukan sekadar cerita tentang cinta dan doa. Ini adalah syair
kehidupan bahwa keterbatasan bukanlah
penghalang jika hati terhubung dengan langit. Seorang pemuda buta telah
membuktikan bahwa kesungguhan doa dapat mengguncang takdir, dan cinta yang
lahir dari ibadah akan menuntun hingga ke surga. Dan mungkin... kita pun bisa
mengetuk langit malam ini, dengan air mata yang jujur, dan hati yang tunduk.
Siapa tahu, ada suara dari langit yang menjawab: "Doamu telah
dikabulkan."
Posting Komentar untuk "Doa yang Menembus Langit ; Kisah Pemuda Buta dan Jodohnya"