Kitab yang Tak Pernah Dilepaskan
Kitab yang Tak Pernah Dilepaskan
Di sebuah madrasah tua yang dikelilingi pepohonan rindang, tinggal seorang guru bijak yang telah mengabdikan hidupnya untuk menanamkan ilmu kepada murid-muridnya. Suatu hari, di tengah pelajaran, ia menyampaikan sebuah nasihat yang kelak tak akan dilupakan oleh salah satu muridnya.
"Ilmu yang sejati," kata sang guru, "bukanlah yang tertulis di lembaran kitab, tetapi yang menetap di dalam hati dan mewarnai hidup kalian."
Sejak hari itu, para murid pun mulai belajar dengan lebih khusyuk, berusaha memahami dan menghayati isi kitab, bukan hanya membacanya. Namun ada satu murid yang justru bertingkah lain. Ia membawa kitab-kitabnya ke mana pun ia pergi ke masjid, ke dapur, bahkan ke tempat istirahat. Kitab-kitab itu selalu digendongnya dengan hati-hati, seolah tak rela berjauhan barang sedetik pun.
Sang guru yang bijak memperhatikannya dalam diam, hingga suatu sore ia mendekati murid itu dan bertanya dengan lembut,
"Mengapa engkau tak seperti yang lain? Mereka berusaha menjadikan ilmu sebagai bagian dari diri mereka. Tapi engkau masih terus membawa kitab-kitab itu ke mana-mana. Tidakkah engkau ingin ilmu itu tinggal di hatimu, bukan hanya di tanganmu?"
Murid itu menunduk lama sebelum menjawab, suaranya pelan dan gemetar.
"Guru... aku sudah mencoba seperti yang engkau ajarkan. Aku membaca, menghafal, merenung. Tapi di dalam diriku selalu ada ketakutan... Ketika kelak aku mati dan malaikat menanyai aku tentang ilmu, bagaimana jika ternyata tak satu pun ilmu tinggal dalam diriku? Karena itu aku membawa kitab-kitab ini bersamaku. Aku ingin setidaknya kalau aku mati, kitab ini tetap bersamaku. Saksi bahwa aku pernah berusaha mencintai ilmu."
Ia berhenti sejenak, menahan sesuatu dalam dadanya.
"Dan semenjak engkau berkata bahwa ilmu harus menetap di hati... sejak saat itulah aku merasa bahwa aku adalah manusia paling bodoh di antara yang bodoh."
Sang guru memandangnya lama, lalu tersenyum. Sebuah senyum yang dalam dan penuh pengertian.
_"Nak," katanya, "barang siapa merasa dirinya berilmu, maka hilanglah ilmunya. Tapi siapa yang merasa dirinya jahil dialah yang sedang diberi cahaya ilmu dalam hatinya."
Hari itu, sang murid tak menjawab apa-apa lagi. Tapi sejak saat itu, ia tak lagi takut. Ia masih membawa kitabnya namun kini bukan karena takut kehilangan, tapi karena cinta yang diam-diam tumbuh di antara lembaran-lembaran itu.
Posting Komentar untuk "Kitab yang Tak Pernah Dilepaskan"