Kisah Mahmud: Mencintai Allah Lewat Luka yang Bernama Sumairah

 




"Di balik cinta yang fana, terdapat cinta yang abadi. Ia tak datang dengan desakan hasrat, tapi dengan ketundukan dan kehinaan di hadapan Yang Maha Mencintai."

Cinta sering kali datang seperti desir angin: pelan, lembut, tapi dapat menggoyahkan hati yang paling kokoh. Namun, adakah cinta yang lebih luhur daripada cinta kepada Sang Pencipta? Di zaman di mana cinta sering diukur dari rupa dan harta, Mahmud mengajarkan kepada kita bahwa cinta sejati lahir ketika seseorang terlebih dahulu mencintai Allah. Ini adalah kisah tentang penyesalan, pengorbanan, dan keindahan yang muncul setelah kehilangan. Di balik luka, tersimpan hikmah. Di balik pengkhianatan, terbit cahaya petunjuk.

Aku adalah seorang pemuda yang hidup di sebuah daerah kecil di kota Kairo, Mesir. Namaku adalah Mahmud. Aku hanya tinggal dengan ibuku seorang. Untuk mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari aku bekerja di salah satu toko tekstil. Pemilik toko tempatku bekerja sangat ahli dengan pekerjaannya. Tak heran, apabila dia mampu menjadikan tokonya yang kecil menjadi sebuah tempat yang eksklusif.

Saat aku mulai bekerja di toko itu aku baru berusia 20 tahun. Aku bekerja dengan sangat giat. Pemilik toko sangat gembira, akhirnya pekerjaanku yang semula hanya menjadi pelayan naik menjadi pegawai. Tak berselang lama pekerjaanku naik menjadi penjual dan sesudah 3 tahun, aku sudah duduk di kasir. Aku bekerja mulai jam 8 pagi hingga jam 8 malam, persis 12 jam. Dan pemilik toko memepercayaiku sepenuhnya. Bisa dikatakan aku anak emasnya. Pemilik toko itu bernama Ustadz Salamah. Dia memiliki seorang anak yang bernama Mamduh.

Waktu berlalu dengan cepat. Tak terasa sudah 3 tahun lebih aku bekerja di toko ini. Toko tempatku bekerja semakin besar. Tak berapa lama, Ustadz Salamah mendirikan dua toko berdampingan. Dan jabatanku naik menjadi kepala akuntan dengan gaji besar. Akupun memiliki kantor sendiri yang berdekatan dengan kamar Ustadz Salamah.

Saat sore hari, aku menaruh uang 300 pound dalam brankas yang ada di sampingku. Akupun pernah berkhayal andaikan aku mengambil uang itu untuk aku belikan sebuah toko sendiri. Tentunya aku menjadi seorang pedagang yang dihormati seperti Ustadz Salamah.

"Cinta sejati bukanlah yang datang dari pandangan pertama, tetapi dari tatapan yang menembus ruh dan menyentuh ketundukan kepada Allah."

Rumi menulis: "Don't seek love, seek the barriers you've built against it. For true love finds you when the self has been emptied."

Suatu hari, ketika aku berjalan menuju toko, aku bertemu dengan seorang gadis. Gadis itu berkulit putih susu, sinar matanya begitu teduh bak awan yang menutupi sengatan sinar matahari. Bibirnya berwarna merah walaupun tidak memakai perona. Sungguh kecantikannya seperti Cleopatra yang mampu membuat semua orang tunduk kepadanya.

"Sesungguhnya cinta tak bisa dilihat oleh mata, tak bisa dijamah oleh tangan. Ia seperti angin malam yang menghampiri tanpa suara, namun mengguncang seluruh tubuh dan jiwamu."

Qais pernah berkata saat menatap Layla:

"إذا نظرت إليها نظرة، سكنَ الجنونُ بجوفي، وتكلم الصمتُ في عيوني."

Setelah perjuangan yang hebat, akhirnya aku dapat mengenal Cleopatra itu. Dia itu bernama Sumairah. Dia adalah anak seorang pegawai pemerintah yang dihormati. Rasa kagumku berubah menjadi cinta. Tak sedetik pun waktu yang kulalui tanpa memikirkannya. Akhirnya aku memberanikan diri untuk melawarnya sebagai calon istriku. Aku datang ke rumah Sumairah bersama dengan temanku. Namun, begitu mereka tahu bahwa aku bukanlah anak pemilik toko itu, mereka langsung mengusir kami berdua. Mereka juga mengancamku akan memberitahu Ustadz Salamah apabila aku berani masih berusaha melihat Sumairah.

Ternyata keluarga Sumairah melaporkan hal itu kepada Ustadz Salamah. Hingga pada suatu pagi, dia mendatangiku dan memarahiku habis-habisan. Dia mencela perbuatanku dan mengancamku untuk tidak mendekati jalanan rumah Sumairah. Akupun tak kuasa untuk

membendung air mataku. Hatiku benar-benar terluka. Aku memiliki seorang sahabat karib yang tinggal di Arab Saudi. Dia adalah pedagang kain yang biasanya mengambil barang pada toko kami. Pada saat aku sedang jatuh itulah, sahabatku itu datang ke Mesir. 

Aku dan sahabatku berjalan di jalanan Kairo, aku pun menceritakan kisahku yang menyedihkan itu kepadanya.

Sahabatku menatapku dengan tajam dan bertanya: “Apakah gadis itu mencintaimu?”

“Aku meyakininya.” Ucapku penuh percaya.

“Kenapa kau tidak menikahinya dan kabur bersamanya?”

Aku tersentak dan langsung berhenti. Aku menatap sahabatku dengan tajam sambil berkata: “Kabur bersamanya?”

Sahabatku mengangguk dan berkata: “Sesudah kau menikahinya secara resmi.”

“Lantas siapa yang menikahkanmu dengan-nya?”

“Salah seorang kerabatnya yang mana dia bisa mewakilkan dirinya kepada kerabat-

nya itu untuk menikahkan dirinya. Lantas kami akan mendatangkan saksi dan kami akan menikahkanmu dengannya.”

“Sesudah itu, aku akan pergi ke mana?”

“Kau pergi bersamaku, aku akan membantumu.” Ucap sahabatku sambil memegang kedua pundakku.

Malam harinya, aku tidak bisa tidur. Aku masih memikirkan siapa kerabat Sumairah yang bisa menikahkan kami. Tiba-tiba aku teringat sahabat karibku saat belajar di Madrasah dulu yang kini menjadi pegawai pemerintah di unit keuangan. Dia adalah putra paman Sumairah, Abbas namanya.

Keberanianku meminta tolong kepada Abbas karena sejak dulu aku tahu bahwa dia tidak suka dengan tuan Musthafa, ayah Sumairah. Karena menurutnya tuan Musthafa begitu sombong kepada siapa saja, bahkan kepada keluarganya sendiri. Aku juga mendengar, bahwa Abbas sempat marah besar saat dia mendengar kabar aku ditolak mentah-mentah oleh tuan Musthafa, pamannya sendiri. Pada hari jum’at, selepas melaksanakan shalat jum’at. Aku pergi menemui Abbas dan memintanya untuk menolongku menikah dengan Sumairah. Sesuai dugaanku, dengan senang hati dia akan membantuku. Namun dia berjanji akan mempelajari masalah ini terlebih dahulu. 

Beberapa hari kemudian, Abbas datang menemuiku dan memintaku untuk bersiap melaksanakan pernikahan. Aku mempersiapkan diri dan mahar yang akan ku berikan kepada Sumairah. Kemudian kami meluncur di tempat pernikahan kami yang sederhana. Dan sesudah Dhuhur kami berdua pun menikah. Sesudah itu, Sumairah kembali ke rumahnya dan tidur disamping ibunya. Tak ada seorangpun keluarganya yang mengetahui perihal pernikahan putrinya itu. Aku kembali bekerja seperti biasanya. Sahabatku dari Arab Saudi akhirnya datang juga menemuiku. 

Lalu dia berkata: “Mahmud, waktu kita hanya 3 hari. Esok ahad pagi, kapal api akan keluar dari terusan Suez. Ingatlah, sekarang

adalah hari rabu. Dari situ kau harus naik kereta jurusan Suez saat jum’at sore.”

Pada sore harinya, Ustadz Salamah memanggilku: “Besok pagi, aku akan pergi ke Alexandria dan akan kembali hari ahad sesudah Dhuhur. Aku akan meninggalkan semua barang dalam tanggung jawabmu. Aku tidak punya waktu untuk mengambil uang, maka besok pagi ambillah uang itu dan antarkan ke Bank. Disampingmu ada nomer rekening kita. Dan lakukanlah hal serupa pada hari kamis dan sabtu. Buka matamu dengan baik wahai Mahmud.”

Ini bukan pertama kalinya Ustadz Salamah mempercayakan hal itu kepadaku. Tetapi kali ini, dia tidak mempercayakan semuanya kepadaku tetapi kepada setan.

Aku segera memberitahukan hal ini kepada Sumairah. Dia begitu gembira mendengarnya, akhirnya Sumairah sepakat dengan untuk kabur. Akupun mengambil semua uang yang berada di dalam brankas yang totalnya 700 pound. Sungguh, pada masa itu uang itu sangat bernilai tinggi. Apabila kutaksir,

dengan uang itu aku mampu membuka 7 toko tekstil sederhana beserta semua perabotannya. Aku segera menyimpan uang itu dalam tas kecil yang kubawa. Lalu aku keluar dari kantor. Rupanya sahabatku telah menungguku sejak tadi, disampingnya sudah ada koper kami berdua. Lantas dengan menaiki taksi, kami pergi menjemput Sumairah. Sesudah itu, kami berangkat menuju pelabuhan. Kemudian kami naik kapal api menuju Jeddah. Begitu tiba di Jeddah, kami melanjutkan perjalanan menuju Madinah. Pada saat itu, Madinah hanyalah kota kecil tidak seperti sekarang. Sahabatku telah menyewa flat tua berukuran kecil. Begitu melihat flat kecil itu, Sumairah terkejut. Dia berkata: “Apakah ini rumah kita?”

Aku diam, lalu aku berdiri menyalakan lentera dan menoleh kepadanya: “Benar, ini rumah kita.”

Sumairah hanya terdiam membisu. Dia tidak membalas perkataanku. Kami juga tidak bertegursapa hingga fajar menyingsing. Tidak makan, tidur ataupun mandi sekadar

menyegarkan badan. Sumairah hanya duduk, dia menutupi wajahnya yang cantik dengan kedua tangannya. Samar-samar aku mendengar suara sesungukan. Benar, dia menangis.

Aku bertanya-tanya: “Apa yang terjadi dengannya? Bukanlah aku lelaki yang dia cintai, dia nikahi dan kabur bersamanya?”

Namun dalam keheningan malam itu, aku menjawab pertanyaan hatiku itu: “Kenyataannya tidak, dia menyukai lelaki baik yang bekerja di tokoku, tetapi dia menikah dengan seorang pencuri yang tengah melarikan diri.”

Sungguh malam pertama yang menyedihkan.

Di Madinah, kota Rasulullah. Aku biasanya melakukan shalat asyar berjama’ah di Masjid Nabawi. Sesudah itu aku ke Raudhah dan berdo’a kepada Allah agar Dia memberiku ampunan dan menganugerahkan sedikit kebahagiaan kepada Sumairah.

Suatu hari, Sumairah berkata kepadaku: “Aku ingin pergi ke masjid.”

Akupun segera pergi bersamanya menuju Masjid Nabawi. Kemudian dia shalat sesudah

itu dia menangis. Dia berkata: “Ampuni hamba wahai Tuhanku, kembalikan aku kepada keluargaku, negeriku, ampuni hamba wahai Tuhanku.”

Mendengar do’anya, akupun larut, air mataku tumpah dan kami menangis bersama. Sesudah itu kami pulang ke flat sewaan kami. Saat tengah malam, dia memanggilku. Aku melihat dia bahagia, seutas senyuman menghiasi wajahnya.

“Aku memiliki firasat, Allah akan mengabulkan do’aku. Dia akan mengembali-kanku ke negeriku dan keluargaku.” Ucapnya begitu manis.

Saat aku mendengar ucapannya, seolah jantungku lepas dari dada. Aku merasa aku akan kehilangan Sumairah. Tapi dalam pikiranku tidak terlintas bayangan yang bisa mengambilnya dariku. Aku menatap Sumairah, dia telah terlelap tidur. Dan dia, tersenyum. Aku memandangi wajahnya yang cantik tidak terasa air mata menetes di kedua pipiku. Beberapa bulan kemudian, saat itu bulan Rajab. Bulan dimana Madinah disesaki oleh para kaum muslimin yang hendak melakukan Umrah. Aku pergi ke Masjid dan berdo’a. 

“Ampuni hamba wahai Tuhanku, Ampuni hamba wahai Tuhanku.”

Tiba-tiba dari arah belakangku ada suara lelaki yang menyahut: “Apakah Allah akan memberi ampunan kepada seorang pencuri yang berkhianat?”

Degh.. jantungku berdetak kencang. Aku menoleh ke arah belakang. Dan benar, suara itu adalah suara Ustadz Salamah. Dia menatapku dengan tajam seolah ingin meremas-remas tubuhku dan membuangnya di lautan.

Aku segera mendekatinya. Aku hanya tertunduk lesu dan berkata: “Demi Allah, wahai Ustadz Salamah. Semenjak kejadian itu aku tidak pernah merasa tenang.”

“Berarti kau telah mengaku.” Jawab Ustadz Salamah ketus.

“Apakah mungkin aku berbohong, sedang aku berada di Masjid Rasul?”

“Lantas kenapa kau melakukan perbuatan itu, wahai pengkhianat? Apakah aku pernah merampas hakmu? Apakah aku pernah menyakitimu?”

“Demi Allah, wahai Ustadz janganlah kau mencelaku. Siang dan malam aku sudah mencela diriku sendiri.”

“Kenapa kau melakukan hal itu?” Tegas Ustadz Salamah.

“Setan wahai Ustadz Salamah. Setan telah memperdayaiku.”

“Uangku?”

“Ada padaku. Aku tidak menyentuhnya sama sekali. Aku akan mengembalikannya padamu sekarang apabila kau mau. Tetapi aku minta demi Allah agar kau tidak mencelaku. Uang itu ada di rumahku.”

“Kalau begitu, berjalanlah di depanku menuju rumahmu.”

“Tetapi katakan kepadaku, bagaimana kau tahu tempatku berada?”

“Aku tidak tahu tempatmu. Aku juga tidak berpikir bahwa kau berada disini. Tetapi saat kau mengambil uangku, kau telah menjatuhkanku ke dalam kesusahan besar dan krisis keuangan.”

“Apakah kau melaporkan masalah ini?”

“Hanya kepada polisi, sesudah itu dunia mencari keberadaanmu.”

“Kemudian kau tahu bahwa aku tinggal disini?”

“Aku sudah bilang kepadamu bahwa aku tidak tahu kau tinggal disini. Sesudahnya berlalunya krisis itu, aku berpikir untuk pergi ke Hijaz dan melaksanakan Umrah dan pergi kesini dan aku menemukanmu di sini.” Ucap Ustadz Salamah mengakhiri perbincangan kami.

Kami segera pergi ke flat sewaanku. Ditengah jalan, kami bertemu dengan Mahmud, putra Ustadz Salamah. Diapun ikut pergi bersama kami. Kemudian kami masuk ke dalam flat dan kupersilahkan mereka duduk di ruang tamu. Lalu aku mengambil uang yang kusimpan dalam dompet. Seluruh uangnya hanya berkurang 50 pound. Aku memberikan dompet itu. Ustadz Salamah membuka dompet itu dan menghitung uangnya.

“50 pound akan segera kukembalikan kepadamu.”

Tak berapa lama, Sumairah masuk dengan membawa kopi dan menaruhnya di depan Ustadz Salamah dan anaknya.

Dengan sedih, Sumairah berkata: “Aku telah mendengar ucapan suamiku kepada Anda. Maafkan suamiku, dia orang miskin. Setan mempermainkan kami berdua.”

Ustadz Salamah memperhatikan Sumairah dengan seksama. Lalu dia berkata: “Apakah kau dari Mesir, anakku?”

“Benar, saya Sumairah binti Musthafa an-Nadhuri, tetangga anda.”

Ustadz Salamah dan Mamduh tercengang mendengarnya. Dia menatap wajah Sumairah beberapa saat lamanya.

Kemudian Ustadz Salamah berkata: “Berarti kau adalah gadis yang diculik oleh penjahat. Sungguh keluargamu hampir mati karena sedih memikirkan nasibmu.”

Mendengar penuturan Ustadz Salamah barusan, wajah Sumairah berubah pias. Keringat dingin mengucur pelan dari wajahnya yang putih itu. Bola matanya mengecil seolah dunia ikut mengecil di hadapannya.

“Bagaimana kabar ibu dan ayahku?” Tanya Sumairah tidak sabar.

“Mereka sama sekali tidak mencicipi makanan semenjak kau diculik oleh lelaki ini.” Jawab Ustadz Salamah.

Dengan terisak, dia berkata: “Dia tidak menculikku, tuan. Jangan anda mendzaliminya. Aku pergi bersamanya dan kami menikah. Setan telah memperdaya kami. Aku ingin kembali ke keluargaku bersama anda.”

Ustadz Salamah menatapku dengan tajam. Seolah-olah dia ingin melontarkan tombak beracun kepadaku.

“Biarkan dia kembali kepada keluarganya bersama kami.” Hardik Ustadz Salamah.

“Dia merdeka, tuan. Aku telah mendzalimi-nya. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpanya. Tetapi hal itu adalah kehendak Allah. Aku mencintainya dan aku tidak ingin apa-apa kecuali kebahagiaannya.”

“Kalau begitu, ceraikan dia.”

Aku terdiam agak lama. Aku menatap Sumairah, dia hanya menundukkan kepalanya. Dengan jelas aku mendengar suara tangisnya yang menggantung di tenggorokan. Hatiku begitu berat mengucapkan kata cerai. Ya,

hatiku masih mencintainya. Tapi aku tidak ingin dia hidup menderita bersamaku.

Aku menghela nafas, dan berkata: “Dia aku cerai karena Allah.”

Tak terasa air mataku mengalir pelan. Sumairah pun juga menangis. Menangisi berakhirnya bahtera rumah tangga kami.

Malam itu begitu sunyi. Aku dan Sumairah sudah tidak tidur bersama lagi karena saat ini kami telah resmi bercerai. Aku teringat malam pertama kami yang juga sepi seperti ini. Tidak ada canda tawa ataupun hidangan sederhana. Aku teringat sebuah pepatah Arab kuno: “al-Bidayah Lahiyyan Nihayah, Sebagaimana hal itu diawali, sebagaimana pula hal itu diakhiri.”

Pagi telah menyingsing, suara celoteh burung-burung meramaikan pagi yang kelam itu. Sesudah shala subuh, aku duduk di depan flat sedang Sumairah di dalam kamarnya, entah sedang apa, aku juga tidak tahu. Tidak berapa lama, Ustadz Salamah dan anaknya datang hendak menjemput Sumairah. Dia berkata kepadaku: “Aku tidak akan mengatakan kepada siapapun dimana kamu berada dengan syarat kau harus hidup selamanya di sini.”

“Bagaimana aku akan pulang sementara penjara Mesir telah menantikuku?” jawabku singkat.

Sumairah membawa semua barang-barang nya dan berjalan beriringan dengan Ustadz Salamah dan anaknya. Meninggalkanku sendirian dalam flat tua ini.

Aku terus menatap kepergian mereka bertiga. Bayang-bayang mereka semakin mengecil dihimpit jalanan kota Madinah. Tiba-tiba mereka bertiga berhenti. Dan kulihat ada seseorang berlari kembali ke arahku. Hatiku semakin perih, aku yakin dia adalah Sumairah.

Dugaanku benar, Sumairah datang kembali kepadaku. Air matanya mengalir dari kedua matanya tanpa bisa berhenti. Tangisan yang membuatku semakin menderita. Di depannya aku berlagak tegar. Aku menahan diriku untuk tidak menangis karena hal itu bisa menambah beban Sumairah. Biarlah hatiku yang menangis dengan keras.

“Wahai Mahmud, aku sangat berat meninggalkanmu. Aku berpikir bisa hidup menghabiskan umurku di sisimu. Tetapi aku tidak bisa hidup jauh dari keluargaku.” Ucap Sumairah dengan air mata yang terus mengalir.

Aku menghela napas dan berkata: “Aku paham semua itu. Aku mencintaimu oleh sebab itu aku menceraikanmu dan aku membiarkanmu pergi.”

Tiba-tiba suaraku tercekat, suaraku parau, akhirnya aku menangis. Dengan terisak aku berkata: “Pergilah… pergilah sekarang Sumairah.”

Dari kejadian itu aku belajar suatu hal yang berharga. Aku belajar untuk tidak mengkhianati amanah seseorang yang begitu percaya kepadaku. Aku juga belajar, bahwa hubungan pernikahan itu harus di dasari oleh kejujuran, dan ridha dari kedua orang tua. Ya, karena ridha orang tua adalah Ridha Allah yang Maha Kuasa. Akupun beralih profesi menjadi penjual makanan, dan Alhamdulillah aku sudah memiliki kios sederhana di Madinah ini. Karena aku tidak suka toko tekstil yang bisa mengingat-kanku akan kejadian buruk itu.

Tak berapa lama aku mendengar bahwa Sumairah telah menikah dengan Mamduh. Akupun segera mencari seorang wanita yang mau kunikahi dengan baik-baik dan menerima apapun kekurangan yang kumiliki. Akhirnya aku menemukan jodohku dan tidak menunggu waktu lama, kamipun menikah. Waktupun berlalu dan semuanya berubah. Akupun dikaruniai rizki berupa seorang bayi perempuan, dan dia ku beri nama “Sumairah.”  

Penutup Kisah & Hikmah untuk Pembaca

Kisah Mahmud dan Sumairah bukan sekadar kisah cinta dua insan. Ini adalah cermin bagi kita yang seringkali meletakkan cinta manusia lebih tinggi daripada cinta Allah. Mahmud jatuh karena lebih dulu mencintai makhluk sebelum mencintai Sang Khalik. Namun luka Mahmud justru menjadi jalan menuju taubat dan cinta yang lebih murni.

"Bukan Sumairah yang harus dicari,

Tapi ridha-Nya di balik pertemuan dan perpisahan itu.

Karena yang jatuh cinta kepada Allah, takkan pernah kehilangan... meski ditinggalkan."

Semoga kisah ini menjadi lentera bagi setiap hati yang terluka, dan menjadi pelajaran bagi mereka yang sedang mencari cinta sejati. Bahwa mencintai-Nya sebelum mencintaimu, bukanlah kehilangan tetapi permulaan dari segalanya.

 

Tamat.




Posting Komentar untuk "Kisah Mahmud: Mencintai Allah Lewat Luka yang Bernama Sumairah"