Ketika Seorang Anak Kecil Mengalahkan Kesombongan dengan Ilmu dan Iman
Dalam kitab Fathul Majid karya Syekh Nawawi al-Jawi, tersimpan sebuah kisah penuh pelajaran tentang betapa ilmu sejati bukanlah tentang usia, gelar, atau kepandaian yang diagungkan, melainkan tentang kerendahan hati dan keyakinan yang lurus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Dahriyah, seorang yang dikenal sebagai ulama besar dan ahli filsafat pada zamannya, dikenal pula dengan kecerdasannya yang luar biasa. Namun, kecerdasan itu lambat laun menjelma menjadi kesombongan. Ia merasa di atas segalanya, bahkan merasa mampu menaklukkan para ulama hanya dengan pertanyaan-pertanyaan tajam dan rumit.
Suatu pagi, di sebuah majelis ilmu yang dipenuhi para ulama, Dahriyah berdiri dengan angkuh dan berkata dengan nada menantang:
“Siapa di antara kalian yang mampu menjawab pertanyaanku?”
Para ulama diam. Bukan karena takut, tapi karena enggan memperdebatkan ilmu dengan orang yang hatinya telah tertutup oleh kesombongan. Namun tiba-tiba, seorang anak kecil berdiri. Dengan tenang, ia berkata:
“Pertanyaan apa yang hendak engkau ajukan, wahai tuan? Jika kami tahu jawabannya, insyaAllah akan kami jawab.”
Dahriyah menatap anak itu dengan sinis dan mengejek:
“Siapa kamu, anak ingusan? Berani sekali kau menjawabku!”
Namun anak itu menjawab dengan keyakinan yang dalam:
“Allah tidak memberikan kemuliaan berdasarkan usia atau jabatan, melainkan kepada siapa yang berilmu dan berkata benar.”
Tersentak oleh keberanian sang anak, Dahriyah pun mulai mengajukan pertanyaan:
“Apakah Allah itu ada? Jika ada, di mana tempat-Nya?”
Anak itu menjawab dengan penuh hikmah:
“Allah itu ada, namun tidak bertempat. Dia tidak butuh ruang untuk hadir.”
Dahriyah mendebat:
“Bagaimana mungkin sesuatu bisa dikatakan ‘ada’ jika tak menempati tempat?”
Anak itu tersenyum, lalu berkata:
“Bukankah ruh ada di dalam tubuhmu? Dapatkah engkau tunjukkan letak pastinya? Ia ada, namun tidak bertempat pasti. Seperti itulah Allah, Yang Maha Ada tanpa terikat tempat.”
Lalu anak itu meminta dibawakan segelas susu, dan bertanya:
“Apakah Anda yakin susu ini manis?”
“Ya,” jawab Dahriyah.
“Di mana letak rasa manis itu?”
Dahriyah terdiam. Ia tidak bisa menunjuk letaknya, namun ia tahu manis itu nyata.
“Begitu pula Allah. Kita tahu keberadaan-Nya lewat ayat-ayat-Nya, ciptaan-Nya, dan hati yang bersaksi, meski akal tak mampu membatasinya.”
Dahriyah melanjutkan dengan pertanyaan lain:
“Sebelum Allah, apa yang ada? Dan setelah Allah, apa yang akan ada?”
Anak itu menjawab tenang:
“Tak ada sebelum-Nya, dan tak ada sesudah-Nya. Dia adalah Yang Awal dan Yang Akhir. Dia tidak dilingkupi oleh waktu, sebagaimana ciptaan-Nya.”
Ia lalu mengangkat tangan dan berkata:
“Lihatlah jari-jarimu. Apakah jempol lebih dulu ada dari kelingking? Tidak, keduanya ada dalam satu kesatuan. Begitu pula Allah: keberadaan-Nya tak bisa diukur dengan logika waktu yang terbatas.”
Di hadapan jawaban-jawaban itu, Dahriyah pun tertunduk. Ia tak lagi bisa berkata-kata. Kesombongannya runtuh bukan oleh gelar atau kekuasaan, melainkan oleh ilmu yang disampaikan dengan adab dan tawadhu.
Anak kecil itu adalah Imam Abu Hanifah, salah satu mujtahid agung dan pendiri mazhab yang hingga kini diikuti oleh jutaan umat Islam.
🌿 Syair Jalaluddin Rumi yang Menguatkan Kisah Ini:
"Jangan sombong karena ilmu yang kau miliki,sebab setetes embun takkan pernah menenggelamkan matahari."– Rumi
"Ilmu itu bukan untuk pamer dan perdebatan,melainkan lentera yang menuntun hati menuju cahaya kebenaran."– Rumi
"Apa gunanya menguasai langit ilmu,jika hatimu kosong dari cinta dan keikhlasan?"– Rumi
Inilah hikmah besar yang dapat kita ambil: Ilmu yang tak disertai kerendahan hati hanya akan menyesatkan, sementara ilmu yang disertai iman dan keikhlasan akan membimbing menuju cahaya kebenaran.
Posting Komentar untuk "Ketika Seorang Anak Kecil Mengalahkan Kesombongan dengan Ilmu dan Iman"