Ramadhan yang Mengajarkan Rindu

     

            Universitas Imam Syafi'i, Jl. Ba'atiyah, Fuwwah Ibnu Sina, Mukalla, Hadhramaut, Yaman.

 

Ramadhan di negeri para wali.

    Bulan purnama menyamai langit Mukalla dibulan ramadhan ini, hanya saja temaran cahayanya tertahan oleh gumpalan-gumpalan awan hitam yang nyaris memenuhi wajah langit Mukalla.

    Tiap masuk bulan ramadhan, kebiasaan ahli Yaman berubah 90 Drajat, siang menjadi malam dan malam menjadi siang, di Yaman tak ada tidur malam, ahli Yaman selalu menyibukkan malam mereka dengan beribadah, beraktivitas dipasar kemudian kembali beribadah sampai waktu sahur tiba. Waktu tidur mereka hanya ada antara shubuh dan dhuhur, sisanya diisi dengan ibadah dan ibadah.

    Sholat tarawih di negri para wali ini hanya ada 20 rakaat. Hanya saja dalam semalam ada sekitar 5 jadwal pelaksanaan shalat tarawih di masjid-masjid yang berbeda mulai dari jam 8 malam hingga jam 2 dini hari. Sehingga seseorang bisa shalat tarawih hingga 100 rakaat.

    Ahli Yaman selalu menghidupkan malam mereka dibulan ramadhan dengan beribadah, menganggap setiap malam dari bulan ramadhan adalah malam Lailatul Qadar. Sungguh rugi bagi seseorang yang mendapati bulan ramadhan malamnya dengan kelalaian, akan tidak mendapati malam Lailatul Qadar, malam yang mana pahalanya lebih baik dari 1000 bulan, "Barang siapa tak mendapatkan kebaikannya maka dia sungguh tak mendapatkannya". 

    Bulan ramadhan, bulan dimana didalamnya terdapat ampunan dan pahala yang sangat besar, yang tidak ada dibulan-bulan selainnya. Bulan dimana didalamnya juga terdapat malam yang lebih dari 1000 bulan, bahkan indahnya malam dibulan ramadhan lebih indah dari negeri 1001 malam.

Ramadhan kali ini terasa begitu berbeda dari Ramadhan sebelumnya. Aku tak lagi berada di Indonesia, tetapi telah jauh melangkah, terpisahkan oleh samudra luas. Burung besi telah membawaku pergi, menjauh dari tanah kelahiranku, bahkan rela berpisah dari orang-orang tercinta demi mengejar impian yang suci.

    Kini, tidak ada lagi momen buka dan sahur bersama keluarga. Tidak ada gelak tawa ayah yang selalu mencairkan suasana, tidak ada tangan lembut ibu yang menyentuh kepala kami dengan doa sebelum sahur. Sebagai gantinya, aku menjalani Ramadhan bersama teman-teman senasib, sesama anak Indonesia yang juga sedang menimba ilmu di negeri para ulama. Kami saling menguatkan, berbagi cerita dan rindu, namun tetap saja, ada bagian yang hilang.

    Tidak ada lagi tadarus bersama anak-anak di mushola atau masjid, yang biasanya diakhiri dengan suguhan dari orang-orang baik hati. Terkadang, jujur saja, dulu aku menunggu suguhan itu lebih daripada pahala. Namun di sini, segala ibadah terasa lebih tulus—benar-benar mengharap ridha Allah, tanpa embel-embel lainnya. Setiap ayat yang dilantunkan terasa lebih berat, lebih dalam, seakan-akan ia ingin langsung mengetuk pintu langit.

    Tidak ada lagi ngabuburit selepas Ashar bersama teman-teman, atau sahur keliling yang seru seperti di rumah. Semua kenangan itu kini menjadi nostalgia yang membuat hati hangat sekaligus pilu. Aku tersadar betapa banyak momen kecil yang dulu sering terabaikan, kini justru menjadi harta berharga di dalam ingatan.

    Ramadhan di perantauan ini berjalan begitu cepat, hingga tanpa sadar, ia hampir usai. Waktu seolah berlomba, meninggalkan kami yang masih terjebak dalam upaya menjadi lebih baik. Orang-orang di sini bahkan larut dalam kesedihan selama berbulan-bulan setelah Ramadhan berlalu. Mereka begitu mencintai bulan suci ini, dan itu terlihat dari bagaimana mereka menghargai setiap detik yang ada. Lantas, bagaimana denganku? Apa yang membuatku bersedih atas kepergiannya?

    Bagaimana tidak sedih, jika Ramadhan kali ini pun aku belum mampu memanfaatkannya sepenuhnya untuk berubah menjadi lebih baik dan memperbanyak amal ibadah. Lalu bagaimana dengan Ramadhan-Ramadhan sebelumnya? Apakah aku yakin akan berjumpa lagi dengan Ramadhan di tahun yang akan datang? Atau mungkin maut akan lebih dulu menjemput sebelum aku mendapat kesempatan untuk memperbaiki diri?

“Kullu nafsin dzā’iqatu al-maut.”
“Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati.”

    Ayat itu bergema di benakku, menjadi pengingat bahwa waktu yang berlalu tidak akan pernah kembali. Ramadhan kali ini adalah pengingat sekaligus pelajaran, bahwa kesempatan itu tidak selalu datang dua kali. Ketika semua keriuhan dunia berhenti sejenak di bulan suci ini, aku menemukan cermin untuk melihat diriku yang sebenarnya—penuh kekurangan, penuh dosa, namun juga penuh harapan untuk berubah.

    Doaku hanya satu: semoga Allah memberi kita umur panjang untuk bertemu lagi dengan Ramadhan, dengan hati yang lebih siap, jiwa yang lebih bersih, dan amal yang lebih ikhlas. Semoga Ramadhan mendatang menjadi saksi atas usaha kita untuk menjadi insan yang lebih baik.

Karena Ramadhan bukan hanya bulan penuh keberkahan, tapi juga bulan yang merangkul setiap jiwa yang rindu kepada-Nya. Ramadhan adalah pelukan hangat dari Allah untuk hamba-hamba-Nya yang ingin kembali.

Posting Komentar untuk "Ramadhan yang Mengajarkan Rindu"