Munajat di Bawah Langit Padang Pasir: Cinta yang Dimulai dari-Nya
Langit siang di atas
padang pasir seperti jubah putih yang dibakar oleh bara. Pasir-pasir menggulung
bagai ombak kering, diterpa angin yang berhembus kaku dan panas. Beberapa
pemuda tampak tengah menyusuri hamparan padang itu, dengan langkah yang mulai
goyah karena lelah dan haus. Terik matahari menggantung di atas kepala mereka,
bagaikan mata api yang tidak berhenti menyembur.
Keringat bercucuran dari
wajah-wajah muda itu. Namun semangat mereka tak padam, sebab mereka tengah
dalam perjalanan menelusuri tapak para auliya dan orang-orang saleh, mencari
hikmah, dan menapaki jejak yang mungkin tak terlihat seperti jejak cinta yang
dirahasiakan Tuhan di tengah sunyi padang ini.
Mereka berjalan tanpa
suara, seakan-akan alam pun sedang berdzikir bersama. Sampai tiba-tiba, di
kejauhan, tampak sebuah tenda sederhana. Di depan tenda itu duduk sepasang
kakek dan nenek rambut mereka memutih, tubuh mereka tak lagi tegak, namun wajah
mereka bersinar damai seperti bulan purnama di malam-malam suci.
Pemuda paling muda di
antara rombongan itu, terpanggil oleh rasa penasaran yang tidak biasa. Seakan
ada yang menuntunnya. Ia perlahan memisahkan diri dan mendekat ke tenda
tersebut. Langkah-langkahnya menginjak pasir seperti menginjak permadani tak
kasatmata yang dihamparkan oleh takdir.
Ia mendekat, mengucap salam dengan lembut:
"Assalamu’alaikum, ya Syaikh wa Sayyidati. Semoga Allah melimpahkan
keberkahan atas usia kalian."
Pasangan itu menjawab salam dengan senyum
lembut. Seakan-akan mereka telah menanti kedatangannya. Seakan-akan takdir
memang menjadwalkan perjumpaan ini.
"Setiap pertemuan bukan
kebetulan," kata Jalaluddin Rumi,
"Ia adalah pertemuan dua jiwa yang sudah saling mengenal di langit sebelum
tubuh diciptakan."
Begitulah barangkali: antara pemuda yang
mencari dan dua insan yang telah sampai.
Beberapa pemuda tengah menyusuri kawasan
padang pasir yang terbentang luas itu. Udara terasa begitu panas seakan-akan
matahari berada tepat di atas kepala mereka. Tak henti-hentinya mereka mengusap
keringat yang terus mengalir dari wajah mereka.
Tak begitu lama mereka lewat di depan sebuah
tenda yang dihuni oleh pasangan kakek dan nenek. Walau usia telah memakan masa
muda mereka berdua, namun mereka terlihat begitu bahagia bak pasangan pengantin
baru.
Salah seorang pemuda itu
begitu penasaran, ia memisahkan diri dari rombongannya dan mendekati kakek dan
nenek itu. Begitu berada di depan kakek dan nenek, pemuda itu mengucapkan salam
kemudian memperkenalkan diri dan menjelaskan apa maksud kedatangannya.
"Wahai anak muda," ujar sang
kakek, "engkau mungkin heran melihat kami seperti pasangan pengantin baru.
Namun, izinkan kami kisahkan sesuatu bukan tentang asmara dunia, tapi tentang
awal dari cinta yang menjadikan dunia ini bernyawa."
“Malam pertama kami sebagai suami istri, aku
berkata kepadanya:
'Wahai istriku, malam ini adalah malam penuh barakah. Maka izinkanlah aku
memulai kehidupan rumah tangga ini bukan dengan pelukan dunia, tapi dengan
pelukan langit.'
Aku ingin menyendiri bersama-Nya, menumpahkan segala syukur dalam sujud dan
tangis panjang.”
Dan ia menjawab:
“Suamiku, aku pun ingin beribadah malam ini. Biarlah malam pertama kita menjadi
saksi cinta kita kepada-Nya sebelum kita saling mencinta satu sama lain.”
Kami pun segera mendirikan sholat. Kami
begitu khusyu' hingga tak mempedulikan satu sama lainnya.
“Saat malam kedua, aku pun berkata kepada
istriku seperti pada malam pertama kami. Maka semenjak itu hingga 70 atau 80
tahun, kami selalu menghidupkan malam seperti saat kami malam pertama munajat
kepada Allah…”
“Bukankah seperti itu, nek?”
“Tentu saja seperti yang kau ucapkan, kek.”
“Nak, cinta seperti ini tidak dimulai dengan
keinginan untuk dicinta.
Ia dimulai dengan kerinduan untuk menyenangkan Allah.
Ia bukan hasil usaha sehari atau semalam. Tapi ia tumbuh setiap malam yang kau
hidupkan dalam munajat.
Bukan malam pernikahan yang menjadikan kami bahagia,
tapi malam-malam setelahnya yang kami isi untuk mencintai-Nya itulah yang
menjaga cinta ini tetap menyala.”
“Ketika sujud menjadi ruang paling nyaman
untuk berdiam,
dan ketika doa menjadi bahasa cinta yang tak pernah basi,
di situlah rumah tangga menjadi surga sebelum surga.”
“Cinta bukan mengikat tanganmu pada tubuh
yang fana,
tapi melepaskan jiwamu agar melesat menuju langit-Nya.” Jalaluddin Rumi
“Aku mencintai-Mu, ya Allah, bukan karena
takut neraka atau ingin surga.
Tapi karena Engkau pantas dicinta.
Seandainya Engkau tiada memberikan apa pun, aku tetap bersujud.” Rabiah al-Adawiyah
“Jika cintaku padamu sekadar dunia, tentu
sudah padam saat wajah menua.
Tapi karena Engkau yang kusembah, cintaku bertambah seiring usia.” Syair Arab Klasik
"Assalamu’alaikum..." pemuda itu
berpamitan, lalu kembali pada rombongan. Tapi hatinya telah berubah. Seolah ia
bukan lagi manusia yang sama dengan yang datang tadi. Ia membawa pulang cahaya.
Ia membawa pulang cinta yang benar.
Biarlah dunia menyangka cinta itu peluk dan
cium,
kami percaya cinta sejati itu berdiri dalam sepertiga malam,
dengan wajah menengadah dan mata yang basah.
Bahwa mencintai Allah sebelum mencintai
siapa pun,
adalah jalan yang paling lurus dan paling manis menuju bahagia.
Posting Komentar untuk " Munajat di Bawah Langit Padang Pasir: Cinta yang Dimulai dari-Nya"