Ali dan Shofia: Cinta yang Buta Mata Tapi Terang Hati karena Allah

 





Ali dan Shofia: Cinta yang Buta Mata Tapi Terang Hati karena Allah

 

Dalam sejarah cinta para kekasih Ilahi, selalu ada ruang sunyi yang tak dapat dijelaskan dengan kata, hanya bisa dirasakan dalam sujud panjang dan air mata. Cinta bukan tentang indahnya wajah atau panjangnya kebersamaan, melainkan tentang bagaimana seseorang tetap memilih bertahan, karena telah lebih dulu mencintai-Nya. Inilah kisah tentang Ali dan Shofia, dua jiwa yang dipertemukan bukan untuk saling memiliki secara lahiriah semata, tapi untuk saling menguatkan dalam mencintai Allah lebih dari apapun.

 

Ali masih terdiam disamping tenda besar berwarna hitam itu. Sejauh matanya memandang, yang nampak hanyalah para prajurit yang tengah berjaga menghadapi serangan dadakan musuh. Dia menghela nafas, apabila dihitung-hitung sudah 2 minggu dia berada di medan perang ini.

 

Dia masih ingat dengan jelas. Saat di hari ke 7 pernikahannya dengan Shofia, gadis Turki berkulit putih dengan wajah teduh. Datanglah seorang prajurit mengumumkan kewajiban perang yang diserukan oleh khalifah untuk menghadapi musuh yang telah menyerang daerah selatan. Ali pun segera mendaftarkan diri untuk memenuhi panggilan khalifah itu.

Saat akan berangkat ke medan perang, Ali berpamitan kepada Shofia.

"Shofia, jika perang ini telah usai aku akan pulang."

"Suamiku, aku akan menunggumu. Segeralah pulang jika perang telah usai. Aku ingin melihat wajah kemenanganmu." Jawab Shofia. Dia menggenggam tangan Ali dengan erat. Tak terasa air mata merembas pelan dari kedua matanya.

Ali mengangguk. Lalu dia segera menaiki kuda yang telah dia siapkan sejak pagi.

"Aku akan menunggumu disini suamiku." Teriak Shofia sambil melambaikan tangannya.

"Tunggu aku, ku akan datang." Jawab Ali. Dhuar.....

 

Suara dentuman keras itu membuat Ali tersadar dari lamunannya. Kekhawatiran komandan muslimin benar, rupanya musuh menyerang barak kaum muslimin saat seluruh prajurit tengah istirahat. Dia menghunus pedangnya dan berhambur ke medan laga.

 

Dua bulan kemudian, perang telah berakhir. Kedua belah pihak telah sepakat berdamai. Bahkan tadi malam, panglima secara resmi membubarkan prajurit. Dan mereka dipersilakan pulang. Ali sangat bahagia. Di sepanjang perjalanan pulang, pikirannya hanya terfokus kepada Shofia. Dia berharap segera tiba di rumah dan bertemu dengan Shofia.

 

"Bagaimana kabarmu Shofia?". Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di kepalanya.

Tak berapa lama, Ali telah tiba di rumahnya. Halaman rumah begitu kotor. Dinding rumah pun dipenuhi sarang laba-laba.

"Ada apa ini? Mana Shofia?" Sentak Ali khawatir. Dia turun dari kudanya dan bergegas membuka pintu. Tapi sayang, pintu itu terkunci.

"Ali, kau sudah pulang?" Sapa seorang wanita separuh baya berbadan gemuk. Ali menoleh, rupanya itu bibi Hafshoh, adik kandung ibunya.

"Iya, baru saja aku datang. Bibi tahu Shofia dimana?"

Bibi Hafshoh terdiam, ada sebuah perasaan yang menggumpal didadanya.

"Ali bersabarlah. Beberapa minggu lalu, aku membawa Shofia ke musytasfa' (rumah sakit)." Terang bibi Hafshoh.

"Ada apa dengan Shofia, bibi?"

"Sabarlah Ali, Shofia menderita penyakit aneh. Di wajahnya muncul luka-luka busuk. Saat sore, dia membersihkan luka busuk itu namun saat pagi harinya, luka-luka itu bertambah parah dan menyebar ke seluruh tubuhnya."

"Bibi, Terima kasih kau telah berkenan membawanya ke musytasfa'. Aku minta tunjukkan tempat Shofia?" Pinta Ali.

"Tapi Shofia berkata; dia tidak mau bertemu denganmu. Dia takut, luka-luka busuk itu membuatmu jijik. Saat ini dia begitu terpukul akan penyakitnya itu. Dia begitu tertutup dengan orang lain dan sering menangis."

"Dengan sepenuh hati aku minta bibi berkenan membawa aku ke Shofia." Pinta Ali dengan air mata yang mengalir deras.

Bibi Hafshoh iba melihat kesungguhan Ali. Dengan hati bergetar dia berkata: "Baiklah ayo kita berangkat ke tempat istrimu."

"Tapi sebelumnya aku minta bantuan bibi sekali lagi."

"Apa itu?" Tanya bibi Hafshoh keheranan. Ali terdiam, lalu dia berkata: "Bantu aku berbohong."

 

Bibi Hafshoh tidak paham akan kemauan Ali, tapi dia berjanji akan melakukannya.

Mereka berdua segera berangkat ke musytasfa', sebelumnya Ali membeli sebuah perban dan memberikannya kepada bibi Hafshoh.

 

"Tolong bibi balut kedua mataku dengan ini. Kemudian antarkan aku ke tempat Shofia. Apabila dia bertanya, katakanlah aku telah buta karena terkena api dari alat pelontar musuh. Ini demi Shofia, aku sangat mencintainya. Aku paham perasaannya."

Bibi Hafshoh mengangguk. Dia segera membalut kedua mata Ali dengan perban dan membawanya ke tempat Shofia di rawat.

"Ali... Ali...." Teriak Shofia ketika melihat suaminya datang dipapah Bibi Hafshoh.

"Shofia dimana kau?" Tanya Ali sambil meraba-raba sekelilingnya. Bibi Hafshoh mendekatkan Ali kepada Shofia.

"Shofia, apa yang terjadi denganmu?" Tanya Ali sambil berusaha meraba wajah istrinya. Namun dengan lembut Shofia menampik belaian Ali.

"Aku sudah tidak cantik lagi Ali. Aku telah berubah." Ucap Shofia dengan terisak.

"Katakan apa yang terjadi padamu Shofia! Kau tahu keadaanku saat ini. Aku telah buta, aku tak mampu melihat apapun. Kini yang nampak padaku hanyalah kegelapan. Oleh sebab itu katakanlah. Jika kau tak mengatakannya, bagaimana aku tahu apa yang tengah terjadi padamu saat ini. Tidak ada yang bisa dilakukan oleh orang buta sepertiku kecuali mendengar."

Shofia tersentak mendengar penuturan suaminya itu. Dengan halus dia meraih wajah Ali.

"Wajahku penuh dengan luka busuk. Aku tak ingin kau melihatnya."

"Shofia sekarang apalah arti kecantikan maupun keburukan di depan mataku. Jika selamanya aku tidak bisa melihat." Ucap Ali seraya memegang tangan Shofia.

"Ali maafkan aku."

"Shofia, jika aku katakan aku mencintaimu, memang benar aku mencintaimu. Bagaimana keadaanmu, apapun yang terjadi padamu, takkan mengubah rasa di hatiku. Tapi yang membuatku sakit apabila kau malu pada suamimu sendiri hanya karena wajahmu yang penuh dengan luka busuk. Aku bisa merasakan apa yang kini kau rasakan. Tapi aku minta apa yang tengah terjadi padamu tak merubah perasaanmu. Wajahmu bisa berubah dengan wajah apapun, tapi jangan hatimu karena aku mencintai hatimu." Ucap Ali seraya memeluk istrinya dengan penuh kasih sayang dan kerinduan.

 

"Cinta sejati,” kata Jalaluddin Rumi, "bukanlah ketika kau mencintai seseorang karena wajah dan tubuhnya, tapi karena hatinya yang senantiasa berdzikir dan menyerahkan seluruh cinta kepada-Nya."

Shofia mulai menangis dalam pelukan Ali. Untuk pertama kalinya, luka-luka di wajahnya tak terasa menyakitkan. Luka itu menjadi pengingat, bahwa tubuh hanyalah wadah sementara. Yang abadi adalah ruh yang mencintai karena Allah.

"Seandainya matamu bisa melihat, kau akan tahu betapa buruk wajahku..." kata Shofia lirih.

"Seandainya hatimu bisa melihat, maka kau tahu bahwa kecantikanmu tak pernah sirna dari hatiku. Seandainya aku buta seumur hidup, maka aku tak menyesal, sebab aku telah melihat wajahmu sebelum luka menyentuhnya, dan aku telah mengenal hatimu sebelum dunia mengenalmu," jawab Ali.

 

"Ketika cinta memanggilmu, ikutlah padanya, meski jalan yang dilaluinya tajam dan curam," demikian syair Rumi berbisik di hati mereka.

Mereka tinggal bersama di musytasfa'. Di sela sakit dan perban, mereka saling membaca syair:

"وَإِنِّي لَأُحِبُّكِ حُبًّا لَوْ تَعْلَمِينَ، لَمَا سَكَنَ قَلْبِي لِغَيْرِكِ، وَلَمْ تَهْتَفْ شَفَتَايَ بِغَيْرِ اسْمِكِ"

“Sungguh aku mencintaimu dengan cinta yang jika engkau tahu, maka takkan pernah hatiku tenang kepada selain dirimu, dan bibirku takkan menyebut nama selainmu.”

 

Dan Shofia menjawab dengan air mata:

 

“Aku malu kepada Allah karena kufur akan nikmat-Nya. Tapi sekarang kutahu, cintamu tak buta, karena hatimu melihat lebih dari yang tampak.”

 

 

Hingga suatu pagi yang cerah. Shofia ditemukan telah meninggal dunia dengan menyunggingkan senyuman manis. Pihak musytasfa' telah berusaha membantu tapi Shofia tidak dapat tertolong.

"Besabarlah Ali." Ucap bibi Hafshoh seraya menepuk pundak Ali.

"Terima Kasih, bibi."

Ali membuka balutan perban kedua matanya. Kini yang dia lihat hanyalah gundukan merah pusara istrinya tercinta.

"Kasih, tiada kesedihan yang kita lalui saat terakhir kebersamaan kita. Yang ada hanyalah tawa dan kebahagiaan. Semoga Allah menempatkanmu bersama dengan para kekasih-Nya."

 

 

Penutup / Hikmah:

 

Cinta yang tulus selalu mendekatkan hati pada Allah. Ali dan Shofia telah menunjukkan bahwa cinta sejati bukan terletak pada tubuh yang indah, tapi pada jiwa yang suci. Dalam kesedihan, dalam kehilangan, bahkan dalam luka paling parah—jika cinta itu bermuara pada-Nya, maka semuanya menjadi indah.

 

Layaknya Qais yang gila karena Layla, tapi sejatinya kegilaan itu adalah cinta kepada Yang Maha Cinta. Layaknya Rabi’ah al-Adawiyah yang berkata:

“Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut akan neraka-Mu, bakarlah aku di dalamnya. Jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga-Mu, haramkan aku darinya. Tapi jika aku menyembah-Mu karena cinta kepada-Mu, jangan Kau palingkan wajah-Mu dariku.”

 

Ali mencintai Shofia karena Allah. Dan Shofia menerima cinta itu karena hatinya telah terlebih dahulu mengenal cinta kepada-Nya. Maka cinta mereka abadi, bukan karena raga yang bersama, tapi karena ruh yang menuju Sang Kekasih sejati.

 

Akhir

 












Posting Komentar untuk "Ali dan Shofia: Cinta yang Buta Mata Tapi Terang Hati karena Allah"