Pasca Ramadan: Rindu, Pantai, dan Sebait Penghiburan

    


    Ramadan telah berlalu, dan tibalah Syawal bulan yang biasanya disambut dengan suka cita. Namun Idul fitri kali ini terasa begitu sepi dan menyakitkan. Tak ada pelukan ayah, tak terdengar suara ibu di pagi hari. Hanya sunyi yang menjawab takbirku. Rasanya seperti anak ayam yang terpisah dari induknya: linglung, tersesat, namun tetap berusaha tegar menahan rindu yang menghujam.

“Kesedihanmu adalah jembatan. Jangan bakar ia.”
Jalaluddin Rumi

    Aku merasa kosong, seolah Allah sengaja mengajakku berdialog dalam hening. Dan dalam hening itulah aku menyadari: tidak semua kehilangan harus diisi, cukup dirasakan lalu diserahkan.

    Namun di sini, saat libur Syawal tiba, kami punya cara tersendiri untuk “move on” dari kerinduan Ramadan dan kesedihan Idul fitri tanpa keluarga. Mahasiswa Indonesia yang tinggal di sini menyelenggarakan berbagai perlombaan untuk menghibur diri dan melupakan sejenak rasa rindu yang dalam. Mulai dari lomba tarik tambang, futsal, voli, tenis meja, Mobile Legends, PlayStation, lari estafet, dan masih banyak lagi. Selama sepekan, kami disibukkan dengan perlombaan itu satu per satu. Kami menikmatinya tertawa, berkeringat, dan berbagi semangat bersama.

📺 Lihat momen-momen kebersamaan kami di sini:






    Hingga tiba Jumat pagi yang lembut. Seusai dzikir dan solat Subuh berjamaah, kami berjalan bersama menuju pantai, yang letaknya tak jauh dari asrama. Udara dingin menyapa wajah kami, namun hati terasa hangat. Di tepian pantai, kami mulai olahraga kecil, sekadar melemaskan tubuh. Lalu kami duduk melingkar, menggelar tikar, dan melantunkan maulid dengan suara lirih tapi penuh cinta. Sesekali suara ombak menyela, seakan ikut berdzikir bersama kami.

📽️ Nuansa kebersamaan itu bisa dirasakan di sini:



“Aku tenggelam dalam lautan keheningan,
hanya ombak doa yang menuntunku pulang.”
Rumi

    Acara pagi itu kami tutup dengan makan batagor bukan buatan restoran, melainkan buatan tangan-tangan kami sendiri. Lima orang satu kelompok. Kelompokku menyerbu batagor seperti anak kecil yang tak sabar. Aku mencicipi satu. Bumbu kacangnya kental, gurih, dan hangat. Seketika aroma itu menyeretku pada masa kecil: abang batagor langgananku, suara gerobaknya, dan hangatnya sore bersama keluarga. Tak terasa, nostalgia hadir tanpa permisi.

    Pantai itu jadi saksi-saksi dari luka yang perlahan kami jahit ulang. Satu persatu teman pulang, sebagian sibuk memotret, sebagian lainnya masih bercengkerama. Aku memilih diam. Duduk berselonjor menghadap laut, membiarkan burung camar lewat, dan ombak menyentuh kakiku. Air mulai pasang. Tapi tak ada yang perlu ditakutkan.

“Sesuatu yang menyakitkan bisa menjadi pintu masuk,
jika kau izinkan ia membuka hatimu.”
Rumi

Pantai ini mengajarkanku satu hal:
Bahwa rindu tidak perlu dilawan, cukup diakui, lalu dilepaskan perlahan.

Dan untuk semua perantau yang mencoba kuat di hari raya, ingatlah:

“Kesendirian bukan kehampaan. Ia adalah ruang sunyi tempat Tuhan menyapa.”

📺 Sebait kesederhanaan yang meneduhkan hati:

Pantai dan ombakmu begitu indah, seolah mampu menghanyutkan siapa saja yang memandang.

Posting Komentar untuk "Pasca Ramadan: Rindu, Pantai, dan Sebait Penghiburan"