Pejamkan Mata, Hadirkan Sang Guru: Jalan Sunyi Menuju Cahaya
Untuk dapat wushul sampai kepada Allah Ta'ala terdapat beberapa jalan. Di antaranya adalah dengan zikrullah, ta’allum, muraqabah, khidmah, dan rabithah. Dalam ajaran Tarekat Naqsyabandiyyah, rabithah bukan sekadar metode; ia adalah napas rindu seorang murid kepada sang Mursyid, yang senantiasa tenggelam dalam zikir kepada-Nya.
Rabithah, yang dilakukan dengan memejamkan mata dan menghadirkan wajah sang Mursyid al-Kamil, adalah bentuk tawassul untuk memudahkan wushul kepada Allah. Di dalamnya juga mengalir harapan akan madad (pertolongan ruhani) dari silsilah suci para salaf saleh yang senantiasa memancarkan cahaya kehadiran Ilahi.
Sebagaimana disabdakan dalam atsar:
"Zikr ash-shāliḥīn tanzilur raḥmah"
Menyebut orang-orang saleh, mengundang turunnya rahmat.
Maka izinkan kami berbagi kisah, yang kami dengar dalam majelis sebelum Khatam Khawjakan, Rabu malam Kamis, 23 April 2025 di Sidoarjo. Kisah ini kami terima dari Sidi Dr. Aunul Abied Syah dari Torjun-Sampang, yang menuturkan warisan pengalaman ruhani dari para mursyid penuh hikmah.
Khutbah Sang Mursyid dalam Diam
Alkisah, Syeikh M. Amin Badawi, sekretaris Grand Syeikh Al-Azhar, Abd. Halim Mahmud, pernah menyertai sang Grand Syeikh dalam undangan kenegaraan ke Maroko, memenuhi ajakan Raja Hasan II. Ketika salat Jumat tiba, sang Raja meminta agar Grand Syeikh memberikan khutbah. Namun, beliau justru menunjuk Syeikh M. Amin Badawi untuk menggantikan posisinya.
Syeikh M. Amin menolak dengan penuh kerendahan, merasa tak layak dan gemetar di hadapan para ulama besar dari negeri-negeri Islam, di hadapan raja dan para menteri. Namun Grand Syeikh menenangkan:
“Jika engkau tak merasa layak, apakah gurumu tidak layak?”
“Beliau layak, wahai Sidna,” jawabnya.
“Maka, naiklah ke mimbar, pejamkan matamu, dan hadirkan wajah gurumu. Biarkan gurumu yang menyampaikan khutbah melalui lidahmu.”
Syeikh M. Amin pun menurut. Di atas mimbar, beliau berabithah kepada sang guru, Maulana Syeikh Salamah Azami. Ketika khutbah usai, para ulama dari seluruh penjuru menyampaikan kekaguman mereka. Grand Syeikh tersenyum, dan berkata:
“Saya tahu, saya tahu...”
Bahwa sesungguhnya, sang guru telah berdiri bersamanya mendiktekan satu demi satu kalimat khutbah itu.
Rabithah di Terminal Ramses
Seorang murid, almarhum Ahmad Nawa, tengah dalam perjalanan pulang dari majelis Subrah. Istrinya telah menunggu dengan masakan hangat. Namun, di Terminal Ramses, ia kehilangan uang tak mampu membayar ongkos pulang ke Qalyubiyah.
Panik dan cemas mengecewakan istri, ia berdiri di tepi jalan dan memejamkan mata. Dengan sepenuh hati ia berabithah kepada Syeikh Dhiya':
"Madad ya Syeikhna... 'Isyrin genih ya Syeikhna..."
(Tolong, wahai guruku, 20 pound saja...)
Ia ulang kalimat itu dalam lirih yang terisak.
Tiba-tiba, sebuah sedan BMW hijau berhenti. Sang supir menjulurkan tangan sambil berkata:
“Ya Ahmad, 20 pound ya. Ambil ini.”
Dan ternyata—yang memberi uang itu adalah putra Syeikh Dhiya’ sendiri: Sidna Ahmad Dhiya’.
Begitu cepat jawaban atas rabithah yang tulus.
Rabithah yang Menuntun Ziarah
Tentang KH. Maimun Zubair (Mbah Moen), diceritakan pula pada suatu malam, beliau sendirian berangkat dari hotel di Mesir untuk menziarahi makam Syeikh Dhiya’. Tanpa pemandu, tanpa petunjuk.
Namun, rabithah yang kuat kepada sang guru menuntunnya seperti cahaya yang tak terlihat. Beliau berjalan hingga berhenti tepat di depan Masjid al-Kurdi, tempat sang mursyid bersemayam.
“Your task is not to seek for love,
but merely to seek and find all the barriers within yourself
that you have built against it.”
(Rumi)
Maka ketahuilah, seorang murid yang senantiasa kuat rabithah-nya, lambat laun akan malu atas kekurangannya sendiri. Ia akan mulai menyalin sifat-sifat sang guru, mencerminkan akhlaknya, bahkan dalam gerak dan diamnya.
“Jika engkau duduk bersama seorang sufi sejati,
ia tidak akan menasihatimu.
Tapi saat kau bangkit,
kau akan merasa telah berubah menjadi manusia yang berbeda.”
(Rumi)
Murid yang ber-rabithah, bukan sekadar memanggil nama sang guru tapi menyatu dalam keadaan ruhani sang guru, hingga tak lagi tahu, siapa yang bicara dan siapa yang mendengar.
Wallāhu a‘lam biṣ-ṣawāb.
Ditulis dengan cinta oleh: Khuwaydim Majlis, Bakhrul Huda
Posting Komentar untuk "Pejamkan Mata, Hadirkan Sang Guru: Jalan Sunyi Menuju Cahaya"