Paksa Diri, Raih Berkah: Pelajaran Emas dari Perjalanan Syaikh Asy-Sya’rawi



    Syaikh Mutawalli Asy-Sya’rawi adalah seorang ulama besar yang dicintai di seluruh dunia, terutama oleh masyarakat Arab. Sosoknya begitu agung, hingga ia dijuluki sebagai “Imamud-Du‘ah”, pemimpin para dai. Namun di balik keagungan namanya, tersimpan sebuah kisah indah yang bisa menjadi lentera bagi setiap penuntut ilmu.

Pada suatu kesempatan, seorang bertanya kepadanya:

“Wahai Syaikh, wahai Imam, adakah peristiwa penting yang terjadi di masa mudamu?”

Beliau tersenyum kecil, lalu menjawab dengan lirih:

“Tentu, banyak sekali peristiwa yang membekas. Salah satunya adalah ketika ayahku sangat menginginkan aku menuntut ilmu di Al-Azhar, sementara aku sendiri hanya ingin menjadi petani di ladang.”

    Beliau hanya ingin hidup sederhana, bercocok tanam di desa. Namun sang ayah memiliki pandangan yang lebih jauh: beliau ingin anaknya menanam benih ilmu di ladang umat. Maka, meski sang anak enggan, sang ayah tetap bersikeras mengirimkannya ke Al-Azhar.

“Ayahku memaksa agar aku belajar. Maka aku pun akhirnya berangkat ke sana.”

    Tahun demi tahun berlalu. Di tahun ketiga kuliah, Syaikh muda mulai berpikir bagaimana caranya membuat ayahnya ragu dan membiarkannya pulang. Ia kemudian meminta sesuatu yang tak lazim: kitab-kitab dalam jumlah sangat banyak.

    Tak disangka, sang ayah justru menyanggupinya. Dengan sepenuh hati, beliau membelikan seluruh kitab itu. Di toko buku besar (maktabah), beliau menyaksikan putranya mengambil kitab-kitab berjilid-jilid hingga penjualnya sendiri kebingungan dan tertawa karena jumlahnya yang luar biasa.

“Kitab pun dibeli. Begitu banyaknya, hingga ayahku harus menyewa dokar untuk mengangkut semuanya.”

Setelah tiba di tempat kos, ayah beliau menaruh kitab-kitab itu di dekat jendela. Dengan mata berbinar, beliau berkata:

“Kitab-kitab ini sangat bagus, berjilid-jilid. Nanti akan berdebu dan rusak jika sering dibaca. Saya akan pergi membeli kertas untuk melindunginya.”

Lalu sepanjang malam, sang ayah duduk sendiri, menggunting, menyampul, dan menjilid kitab-kitab itu. Ia lakukan semuanya tanpa bantuan, dengan cinta yang tak bersuara.

“Setelah salat subuh, beliau menyeruput teh dan berkata pelan, ‘Saya akan kembali ke desa.’”

Namun sebelum kereta berangkat, sang ayah memanggilnya:

“Wahai Amir, mari sini. Tapi jangan marah, ya.”

Syaikh menjawab, “Silakan, Ayah.”

Sang ayah lalu berkata:

“Saya takut kamu mengira ayahmu ini pelit karena terus menanyakan kitab itu. Sebenarnya saya tahu… kitab-kitab itu bukan kitab wajibmu di tingkat tiga. Tapi tak apa. Semoga Allah memberi kamu futuh (terbukanya pemahaman) dan menjadikanmu orang yang bermanfaat.”

    Seketika, hati beliau bergetar. Kalimat itu membakar hatinya dengan rasa haru dan malu. Cinta ayahnya yang tulus yang semula ingin ia akali justru membuatnya tersadar akan satu hal: ia tak ingin mengecewakan orang tua yang begitu mencintainya.

    Sejak hari itu, ia bertekad mengkhatamkan semua kitab. Satu per satu, halaman demi halaman. Ia mulai dari nama penulis, lalu membaca muqaddimah, mempelajari isi dan bab-babnya.

“Setiap Jumat, aku mengulang apa yang telah kupelajari dan kuhafal.”

    Hari libur ia gunakan untuk pulang. Di rumah, tamu-tamu berdatangan: para syekh, pejabat, ustaz, dan teman-teman ayahnya. Mereka bertanya tentang kitab-kitab itu.

“Apakah kamu sudah menjualnya?”

Beliau menjawab tenang:

“Tidak, saya sudah membaca semuanya.”

    Para tamu lalu mengujinya. Syaikh Mutawalli muda menjawab dengan kefasihan luar biasa. Penjelasannya mendalam, tajam, dan penuh hikmah hingga membuat semua terdiam dalam kekaguman.

Setelah tamu-tamu pulang, beliau mendekat kepada ayahnya, lalu berkata:

“Wahai Ayah, apakah engkau bahagia dengan kejutan ini?”


    Dari anak desa yang awalnya enggan, kini berdirilah seorang ulama agung. Seorang alim, arif billah, wali besar yang cinta dan ilmunya tersebar ke seluruh penjuru dunia.

"Kisah berharga tentang perjuangan menuntut ilmu ini diceritakan kepada saya oleh seorang teman yang ada di Al-Azhar."

🌿 Syair Jalaluddin Rumi untuk Menyempurnakan Kisah Ini:

“Apa itu cinta seorang ayah?
Ia adalah tangan kasar yang membungkus kitab anaknya dengan kertas paling halus.
Ia tak banyak bicara tapi setiap malamnya adalah doa yang menembus langit.”

“Jangan sangka cahaya datang dari lentera.
Kadang ia datang dari air mata seorang ayah di stasiun yang menahan pamit.”

“Kau adalah benih yang tumbuh dari cinta, bukan dari tanah.
Dan ayahmu, dialah matahari yang memilih bersinar dari kejauhan agar engkau tumbuh tanpa tahu bahwa engkaulah alasannya.”


 

Posting Komentar untuk "Paksa Diri, Raih Berkah: Pelajaran Emas dari Perjalanan Syaikh Asy-Sya’rawi"