Kisah Waqidi, Sahabat, dan Istrinya yang Mulia: Ketika 1.200 Dirham Berputar Menemui Tiga Hati Dermawan di Malam Idul Fitri
Aku tengah duduk bersama Yahya bin Khalid Al-Barmaki, menikmati kehangatan malam Idul Fitri yang suci. Dari luar, suara takbir menggema bersahut-sahutan, membelah keheningan langit. Seakan seluruh semesta burung-burung di udara, pepohonan yang menggigil dalam ketakziman, hingga bintang-bintang di angkasa ikut melantunkan takbir, mengagungkan kebesaran Allah.
Aku dan Yahya hanyut dalam keindahan itu. Hati kami terasa ringan, lapang, dan penuh syukur. Namun tiba-tiba, ketukan halus di pintu kamar menyentakku dari kekhusyukan. Aku bangkit dan membukanya. Ternyata, budak perempuanku berdiri di ambang pintu. Wajahnya tenang, tapi suaranya menyiratkan kegundahan.
“Ada apa?” tanyaku lembut.
“Maafkan aku, Tuan Waqidi. Hari raya telah tiba... namun kita kehabisan uang nafkah,” jawabnya lirih, penuh hormat.
Aku terdiam. Seolah disambar petir di siang bolong. Aku segera berpamitan kepada Yahya dan bergegas menemui sahabat karibku, Abdullah, seorang pedagang yang terkenal dengan kemurahan hatinya. Kami telah bersahabat lama, dan aku percaya kebaikan hatinya akan menolongku di malam penuh keberkahan ini. Setibanya di rumahnya, aku berkata tanpa basa-basi, “Wahai sahabatku, aku tidak memiliki uang sedikit pun saat ini, padahal esok sudah Idul Fitri. Aku datang meminjam darimu, jika engkau berkenan.”
Abdullah tersenyum hangat. “Alhamdulillah, aku masih memiliki sedikit rezeki. Tunggu sebentar.”
Ia masuk ke dalam, lalu kembali membawa sebuah kantong bersegel.
“Sahabatku Waqidi, gunakanlah uang ini dengan bijaksana,” katanya seraya menyerahkannya kepadaku.
Aku sangat bersyukur dan berterima kasih padanya. Sesampainya di rumah, aku membuka kantong itu. Isinya 1.200 dirham. Alangkah leganya hatiku. Aku mengikat kembali kantong itu dan menyimpannya. Namun tak lama, seorang sahabat lain datang Muhammad, lelaki dari keturunan Bani Hasyim bin Abdi Manaf.
“Wahai Waqidi, gajiku belum dibayar. Aku sama sekali tidak punya uang untuk hari raya ini. Jika kau memiliki sedikit rezeki, sudikah engkau meminjamkannya padaku?” ucapnya dengan nada yang nyaris patah.
Aku tergugu. Hati ini terbelah antara kebutuhan keluargaku dan permintaan sahabatku. Aku pun memutuskan menemui istriku untuk meminta pertimbangan. Dengan tenang, ia mendengar ceritaku. Lalu ia tersenyum dan bertanya lembut, “Apa rencanamu?”
“Aku akan menyisihkan sebagian uang untuk Muhammad. Setidaknya separuh.”
Ia menggeleng pelan. “Jangan lakukan itu. Engkau tadi menerima uang dari seorang lelaki biasa sebanyak 1.200 dirham. Kini datang seorang kerabat Rasulullah ﷺ, dan engkau hendak memberinya separuh saja? Itu tidak adil, suamiku. Berikan seluruhnya padanya. Jangan setengah hati dalam kebaikan.”
Hatiku seketika luluh. Sungguh, aku terharu oleh keluhuran budi istriku. Ia tak memikirkan dirinya sendiri, tak pula anak-anaknya. Ia hanya memikirkan keberkahan memberi dan keutamaan menolong.
“Apa yang kamu berikan dengan cinta, itu akan tetap tinggal.
Harta yang kau simpan untuk diri sendiri, akan musnah bersama tanah.”
— Jalaluddin Rumi
Dengan tulus, aku berikan seluruh kantong uang itu kepada Muhammad.
Beberapa waktu kemudian, Abdullah kembali ke rumahku. Di tangannya, sebuah kantong—ya, kantong yang sama.
“Inikah kantong yang kuberikan padamu?” tanyanya heran.
“Benar,” jawabku. “Tapi bagaimana kantong itu kembali padamu?”
Abdullah tertawa ringan. “Aku tadi datang ke sahabatku Muhammad untuk meminjam uang. Ia memberiku kantong ini. Begitu kulihat, aku langsung mengenali cap dan simpulnya. Aku pun segera datang ke sini untuk memastikan.” Kami saling berpandangan. Terdiam. Lalu sama-sama tersenyum, penuh rasa takjub.
“Subhanallah! Kalian berdua ternyata lebih mengutamakan sahabat daripada diri sendiri,” ucapku lirih.
“Dan engkau sendiri lebih mendahulukan Muhammad daripada kebutuhan keluargamu,” balas Abdullah.
Akhirnya, kami sepakat untuk membagi uang itu menjadi tiga bagian. Masing-masing dari kami mendapatkan 400 dirham. Seakan dirham itu tidak berkurang, malah bertambah karena keberkahan yang mengalir dari keikhlasan hati.
Beberapa saat kemudian, utusan Yahya bin Khalid datang dan mengajakku menemuinya. Setelah beliau menyelesaikan urusan dengan Amirul Mukminin, aku menceritakan seluruh kisah itu kepadanya. Yahya mendengarkan dengan seksama, terutama bagian tentang istriku wanita luar biasa yang memilih memberi di saat kekurangan.
Ia tampak tersentuh. Kemudian ia memanggil budaknya.
“Ambilkan kantong dinar itu,” pintanya.
Budak itu masuk ke dalam, lalu kembali dengan sebuah kantong besar. Yahya membuka isinya: 10.000 dinar.
“Ambil 2.000 dinar untukmu, 2.000 untuk Abdullah, dan 2.000 untuk Muhammad,” katanya. Lalu, dengan penuh penghormatan ia menambahkan, “Dan 4.000 dinar untuk istrimu. Sebab dialah yang paling mulia di antara kalian.”
“Bukan harta yang membuat seseorang mulia,
melainkan hati yang memilih memberi ketika ia bisa memilih untuk menyimpan.”
— Jalaluddin Rumi
Posting Komentar untuk "Kisah Waqidi, Sahabat, dan Istrinya yang Mulia: Ketika 1.200 Dirham Berputar Menemui Tiga Hati Dermawan di Malam Idul Fitri"