Saat Abu Thalhah Mematikan Lampu: Kisah Nyata QS. Al-Hasyr Ayat 9
Seorang sahabat berjalan pelan mendekati Rasulullah ﷺ yang tengah dikelilingi para sahabat. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat pasi, kedua matanya cekung, dan tubuhnya kurus mengering. Ia bak sebatang pohon di musim gugur yang kehilangan dedaunannya. Setiap langkahnya seperti menanggung beban dunia.
Melihatnya, hati Rasulullah ﷺ teriris. Kasih beliau ﷺ yang sedalam samudra, tak kuasa menyaksikan penderitaan di wajah umatnya. Dengan suara pelan penuh cinta, beliau bertanya:
“Ada apa denganmu, wahai saudaraku?”
Sahabat itu menunduk, menahan pilu. Dengan suara nyaris pecah, ia menjawab:
“(Kehidupan) saya sedang sulit, wahai Rasulullah.”
Nabi ﷺ memahami. Beliau melihat luka yang tersembunyi di balik kata-kata. Ia tahu: sahabat itu telah berhari-hari menahan lapar. Dengan segera, beliau ﷺ memerintahkan seorang sahabat untuk meminta makanan ke rumah para istri beliau. Satu demi satu bilik Ummahatul Mukminin dikunjungi. Namun dari Aisyah hingga istri-istri beliau yang lain, semua menjawab hal yang sama:
“Demi Dzat yang mengutus engkau dengan kebenaran, kami tidak memiliki apa pun selain air.”
Sang utusan kembali dengan hati yang berat. Rasulullah ﷺ menunduk. Tak ada satu pun yang bisa beliau berikan… kecuali cinta. Dengan mata yang tenang tapi sarat kasih, beliau ﷺ memandang para sahabat dan bersabda:
“Siapa di antara kalian yang bersedia menjamu tamu ini malam ini?”
Seketika, seorang lelaki berdiri. Tubuhnya tegap, matanya teduh, wajahnya bercahaya iman. Ia adalah Abu Thalhah, suami dari Ummu Sulaim.
“Saya, wahai Rasulullah,” jawabnya mantap.
Abu Thalhah menggandeng sahabat yang kelaparan itu pulang. Ia tahu, malam ini mungkin keluarganya tak makan. Namun cinta dan kepedulian telah menyingkirkan rasa lapar.
Begitu tiba, ia berkata kepada istrinya:
“Istriku, muliakanlah tamu Rasulullah.”
Ummu Sulaim menjawab lembut:
“Tidak ada apa-apa selain makanan untuk anak-anak.”
Hati Abu Thalhah tercekat. Tapi ia segera tersenyum dan berkata:
“Buatlah mereka sibuk. Ketika waktu makan tiba, tidurkan mereka. Lalu matikan lampu agar tamu kita mengira kita pun sedang makan.”
Istrinya paham. Cinta membuat segalanya mungkin. Anak-anak ditidurkan dengan lembut. Lentera dipadamkan. Lalu dengan penuh penghormatan, Abu Thalhah menyuguhkan satu-satunya makanan yang mereka miliki kepada tamunya.
Mereka duduk di sisi tamu dalam gelap, berpura-pura makan bersama. Padahal sejatinya, hanya tamu itulah yang makan. Malam itu, Abu Thalhah dan istrinya tidur dalam keadaan lapar namun dengan hati yang penuh kenyang.
Esok paginya, Abu Thalhah menghadap Rasulullah ﷺ. Wajah beliau ﷺ bersinar terang. Senyum beliau mengembang, dan dengan penuh sukacita beliau bersabda:
“Allah ridha dengan apa yang kalian lakukan malam tadi.”
Saat itu juga, turunlah firman Allah:
وَيُؤْثِرُونَ عَلَىٰ أَنفُسِهِمْ وَلَوْ كَانَ بِهِمْ خَصَاصَةٌ
“Dan mereka mengutamakan orang lain atas diri mereka sendiri, meskipun mereka dalam kesulitan.”
(QS. Al-Hasyr: 9)
🌹 Syair Jalaluddin Rumi yang Menggambarkan Jiwa Mereka:
"Apa yang kau berikan akan musnah dari tanganmu,
tapi takkan pernah hilang dari hatimu.
Karena memberi adalah satu-satunya harta yang tak bisa dicuri waktu."
"Cinta adalah roti jiwa.
Siapa yang menghidangkan cinta kepada sesama,
akan dikenyangkan oleh Allah di tempat yang tak terbayangkan manusia."
Jika kisah ini menyentuh hatimu, itu karena ia ditulis oleh tangan langit dan dihidupkan oleh jiwa-jiwa yang menghidupkan cinta. Semoga kita bisa belajar dari Abu Thalhah dan Ummu Sulaim bahwa memberi di saat kita sendiri kekurangan adalah bentuk tertinggi dari iman.
Posting Komentar untuk "Saat Abu Thalhah Mematikan Lampu: Kisah Nyata QS. Al-Hasyr Ayat 9"