Kebijaksanaan Ummi Salamah: Saat Rasulullah ﷺ Gusar Usai Perjanjian Hudaibiyyah


    Rasulullah ﷺ berjalan perlahan menuju tenda Ummul Mukminin, Ummi Salamah. Air wajah beliau tampak keruh, memancarkan kelelahan jiwa yang dalam. Beliau begitu kecewa, terheran-heran bagaimana mungkin para sahabat yang setia itu masih mempermasalahkan isi Perjanjian Hudaibiyyah yang baru saja disepakati.

    Dari pandangan lahiriah, memang tampak seolah-olah kaum muslimin dirugikan. Dalam kesepakatan itu disebutkan: bila ada seorang dari pihak Quraisy yang datang ke pihak muslimin, maka ia harus dikembalikan. Namun jika seseorang dari pihak muslimin berpaling ke Quraisy, mereka tidak wajib mengembalikannya. Hati siapa yang tidak tergores?

    Namun, yang lebih membuat Rasulullah ﷺ bersedih adalah kenyataan bahwa para sahabat enggan menjalankan perintah beliau: menyembelih hewan kurban dan bertahalul sebagai bentuk penyelesaian ibadah umrah mereka. Padahal, beliau telah menyerukan dengan jelas.

    Letih jiwa dan gelisah hati, Rasulullah ﷺ melangkah ke tenda Ummi Salamah, istrinya yang penuh hikmah, untuk menenangkan diri. Begitu tiba, beliau langsung masuk dan duduk di atas tikar sederhana yang memang telah disediakan khusus untuknya. Tikar itu menjadi saksi bisu dari seorang Nabi yang tengah menanggung beban umatnya.

    Ummi Salamah memperhatikan dengan penuh kasih. Ia melihat rona gelisah yang jelas di wajah suaminya. Ia tak bertanya banyak. Hanya sebuah kalimat lembut ia lontarkan, penuh perhatian:

“Apakah telah terjadi sesuatu, wahai Rasulullah?”

Rasulullah ﷺ menghela napas panjang. Dengan suara penuh penekanan, beliau menjawab:

“Celakalah orang-orang itu! Aku perintahkan mereka menyembelih kurban dan bertahalul, tapi mereka tidak mau menuruti.”

Perempuan bijak itu tidak tergesa memberi solusi. Ia mendengarkan. Lalu, dengan tenang dan lembut, ia berkata:

“Wahai Rasulullah, tenangkan hatimu. Demi Allah, sangat berat bagi mereka menerima perjanjian itu. Tapi yakinlah, mereka tidak sedang mendurhakaimu. Mereka hanya sedang berjuang menerima kenyataan yang tidak mereka pahami.”

    Kata-kata Ummi Salamah seperti embun di musim kemarau. Sejuk dan menyadarkan. Rasulullah ﷺ menatap wajah istrinya dalam-dalam. Dalam keheningan itu, Ummi Salamah melanjutkan dengan suara yang penuh keyakinan:

“Bagaimana jika engkau keluar, wahai Rasulullah... tanpa berkata sepatah kata pun. Lalu engkau sendiri menyembelih hewan kurbanmu dan bertahalul. Aku yakin, ketika mereka melihatmu melakukannya, mereka pun akan mengikutimu tanpa ragu.”

    Seketika, wajah Rasulullah ﷺ berubah. Beliau tersentak oleh kecemerlangan usulan sang istri. Tanpa menunda, beliau bangkit dan melangkah keluar, melaksanakan saran yang baru saja didengarnya.

    Dan benar. Para sahabat yang melihat Rasulullah ﷺ menyembelih hewan kurban dan mencukur rambut, segera mengikuti tanpa perintah. Mereka tersadar, dan tunduk sepenuhnya. Tidak ada lagi keraguan. Rasulullah ﷺ tersenyum. Bukan hanya karena mereka akhirnya patuh, tapi karena beliau menyaksikan betapa mulianya peran seorang istri yang sejati.

“Seorang istri bukan hanya penghuni dapur, tetapi tempat bersandar di kala badai menerpa,” demikian bisik hatinya.

Dalam diamnya, mungkin syair Rumi ini mencerminkan isi hatinya:

"Ketika cinta berbicara, semua suara menjadi bisu.
Hanya hati yang tahu bagaimana menenangkan badai di jiwa."
— Jalaluddin Rumi

Dan satu syair lagi seakan menjelaskan peran Ummi Salamah:

"Wanita yang mencintaimu dalam diam,
Adalah yang sanggup menyembuhkan luka tanpa mengucap obat."
— Rumi

    Hari itu, bukan hanya masalah yang selesai. Tapi sejarah mencatat, bagaimana satu kalimat lembut dari seorang istri bisa mengubah suasana, menenangkan hati Nabi, dan menggerakkan kembali pasukan yang sempat ragu.

Posting Komentar untuk "Kebijaksanaan Ummi Salamah: Saat Rasulullah ﷺ Gusar Usai Perjanjian Hudaibiyyah"