Di Sepertiga Malam, Aku Belajar Melepaskan

Pernah, di suatu masa, ia sampai pada hari tergelap dalam hidupnya.
Hari ketika dunia tak lagi bersahabat. Ketika kata-kata manusia lebih tajam dari pedang, dan pelukan terasa seperti mitos yang tak pernah nyata.
Ia menangis bukan sekadar air mata yang jatuh di pipi,
tetapi tangisan yang meluruh dari jiwa, begitu dalam, hingga suaranya pun tak sanggup menjangkau langit. Yang tertinggal hanyalah diam,
dan sesak yang mengungkung dada.

Tak tahu ke mana lagi harus melangkah,
akhirnya ia datang kepada-Nya.
Membawa seluruh kepingan luka, kegagalan, dan hati yang nyaris tak berbentuk.
Di sepertiga malam yang hening, ia bersimpuh.
Tak ada lagi untaian kata-kata indah,
hanya air mata yang jatuh sebagai bahasa,
dan pengakuan yang jujur:
bahwa ia sudah tak kuat lagi.

Dan saat itulah, dalam sunyi yang begitu pekat,
ia merasakan sesuatu yang tak bisa dijelaskan oleh logika.
Ketenteraman yang tak datang dari solusi dunia,
tapi dari pelukan tak terlihat yang menyembuhkan lebih dari apapun.
Ia sadar,
Tuhan tak pernah mematahkan hati untuk menghancurkan,
tetapi untuk membimbing pulang.
Agar ia kembali lebih rapuh, lebih jujur,
namun juga… lebih dekat dari sebelumnya.


Dari reruntuhan hatinya, tumbuh cinta.
Bukan cinta yang keras dan menuntut.
Ini cinta yang memilih diam yang tenang,
yang hanya ingin melihatnya bahagia,
meski bukan dirinya penyebab tawa itu.

Malam-malamnya kini penuh dengan satu nama,
yang selalu ia bisikkan dalam doa.
Bukan doa yang menuntut memiliki,
tetapi doa yang melepaskan dan merelakan.

“Aku jatuh cinta pada-Mu tanpa tahu di mana Engkau.
Tapi hatiku tak henti-henti menujumu,
seperti ombak yang tak pernah lelah mencium pantai.”
– Rumi

Doanya sederhana:
"Ya Allah, jika dia baik untukku, dekatkanlah.
Jika tidak, maka cukupkan hatiku untuk menerimanya sebagai takdir yang tak harus kupeluk.”

Ia tahu, mencintai dalam diam tak mudah.
Namun dari cinta seperti itulah,
ia belajar kesabaran, pengorbanan, dan keikhlasan yang paling tulus.


Namun waktu adalah guru yang tak pernah berhenti mengajarkan.

Ia mulai menyadari,
bahwa cinta yang sejati tak hanya diam, tapi juga menunjukkan.
Bahwa jika seseorang sungguh menginginkan,
maka akan ada usaha.
Akan ada kejelasan,
bukan kebingungan yang menyakitkan.

Jika yang ia dapati hanya sikap abu-abu,
diam yang membingungkan,
dan ketidakhadiran yang tak bisa dijelaskan,
maka ia mulai menyadari:
mungkin ia bukan tujuan,
hanya persinggahan yang tak akan pernah dituju dengan sungguh-sungguh.

“Cinta sejati adalah cahaya, bukan ilusi.
Jika ia membuatmu gelap dan bingung,
maka itu bukan cinta,
melainkan bayangan dari keinginanmu sendiri.”
– Rumi


Ia teringat luka-luka lamanya:
pernah terluka karena terlalu cinta,
pernah hancur karena terlalu setia,
pernah dibuang karena terlalu dalam memberi rasa.

Kini ia tahu…
Perempuan bukan untuk diperjuangkan sampai tak bersisa,
tapi untuk diperjuangkan oleh yang tulus.
Bukan untuk mengejar,
tapi untuk dicari.
Bukan untuk menunggu di ujung sabar yang tak bertepi,
tapi untuk disambut dengan kejelasan dan kepastian.

Dan pada akhirnya,
ia memilih langkah paling berani:
berhenti menunggu sesuatu yang tak pernah benar-benar datang.

“Ada saatnya kau harus pergi,
bukan karena berhenti mencintai,
tapi karena cinta itu sendiri tak lagi memanggilmu untuk tinggal.”
– Rumi

Sebab ia tahu kini,
cinta sejati tak membuatmu bertanya-tanya,
tapi membuatmu merasa tenang.
Tenang…
seperti pelukan Tuhan di sepertiga malam,
yang mengajari bahwa kehilangan dunia
tak akan pernah sebanding dengan memiliki kembali diri sendiri dan Tuhan yang Maha Mencintai.


Posting Komentar untuk "Di Sepertiga Malam, Aku Belajar Melepaskan"